TRADISI MEBUUG-BUUGAN KEDONGANAN

Badung, (NS7) – Tradisi dan budaya yang ada di Bali selalu menjadi daya tarik bagi wisatawan asing maupun lokal untuk berkunjung ke pulau Bali. Selain objek wisata yang ada, tersebar dari ujung barat hingga timur, Pulau Bali ternyata juga memiliki banyak tradisi dan budaya yang merupakan warisan para leluhurnya dan sejumlah tradisi tersebutpun masih bertahan sampai saat ini. Menjadi tujuan wisata dunia dunia, tentunya banyak pengaruh-pengaruh luar yang masuk ke Bali, dan itu menjadi tantangan juga bagaimana Bali masih bisa bertahan dengan budaya dan tradisi masa lampau yang menjadi sebuah kearifan lokal. Dan salah satunya adalah Tradisi Mebuug-buugan Kedonganan.

Desa Kedonganan sendiri sendiri adalah wilayah kelurahan yang terletak di Kecamatan Kuta, Kabuapten, Badung Bali. Desa Kedonganan sendiri terkenal dengan sektor perikanan, di sinilah terdapat pasar ikan yang memasok ikan-ikan segar segar ke berbagai restaurant seafood di Bali, termasuk juga cafe-cafe yang menyediakan masakan ikan laut di kawasan Jimbaran dan Kedonganan. Kedonganan sendiri adalah salah satu pusat Pariwisata Bali yang berbatasan langsung dengan Jimbaran dan hanya sekitar 4 km dari bandara udara Ngurai Rai Bali, sebuah kawasan pariwisata yang populer namun masih bisa melestarikan tradisi seperti mebuug-buugan tersebut.

Lalu apa sebenarnya tradisi Mebuug-buugan yang digelar di Kedonganan, Badung ini. Tradisi berhubungan serta dengan perayaan Hari Raya Nyepi yang dilaksanakan setiap 1 tahun sekali yang berkisaran bulan Maret pada kalender Masehi. Pada saat tradisi tersebut berlangsung, peserta melumuri tubuhnya dengan lumpur sebelum kemudian membersihkan dan mandi ke pantai di kawasan desa Kedonganan. Tradisi ini sendiri adalah merupakan warisan leluhur yang sudah lama, sempat tidak dilaksanakan dan tidak digelar dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun kemudian penduduk setempat mencari tau asal-usul dan meneliti lagi tradisi ini hingga akhirnya satuan-satuan pemerintah dan aparat adat memutuskan untuk menggelar tradisi tersebut lagi.

Mebuug-buugan tradisi yang digelar di Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung ini merupakan tradisi yang sudah lama vacum dan baru digelar baru-baru ini. Banyak kontroversi yang datang dari tradisi mebuug-buugan karena masyarakat awam berpikir tradisi ini sengaja mengotori dirinya sendiri dengan lumpur yang mana lumpur identik kotor dan tidak baik untuk kulit. Namun, sebenarnya tradisi mebuug-buugan ini salah satu tradisi yang memiliki makna simbolik sebagai bentuk membersihkan diri atau badan dari pengaruh negatif yang nantinya setelah dilumuri lumpur akan dibersihkan lagi di pantai.

Tradisi mebuug-buugan sangat berhubungan erat dengan perayaan Nyepi yang jatuh setiap satu tahun sekali. Perayaan tradisi ini digelar setelah merayakan hari raya Nyepi atau Ngembak geni. Arti dari tradisi Mebuugan-buugan memiliki banyak versi, ada yang menyebutkan tradisi ini merupakan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa telah melimpahkan ikan di Pantai Kedonganan. Menurut penduduk setempat, sebenarnya ikan hanya ada di perairan Barat Kedonganan, tetapi konon dulu bahkan di perairan timur Kedonganan juga ada.

Selain itu jika dilihat dari makna filosofinya, Tradisi mebuug-buugan, berasal dari kata buug yang berarti tanah atau lumpur dan mebuug-buugan mempunyai arti melakukan interaksi kepada sesama dengan menggunakan tanah atau lumpur sebagai medianya. Interaksi ini dapat berupa saling melempar dan mengoleskan lumpur atau tanah kepada lawan. Memang menjadi pertanyaan, mengapa mebuug-buugan ini bisa sebagai simbolik dari membersihkan diri dari pengaruh negatif, padahal jika dilihat lumpur itu identik dengan kotor.

Sebenarnya ada arti mengapa mebuug-buugan digelar setelah perayaan Nyepi. Perayaan Nyepi merupakan bentuk dari penyucian Bhuana agung (alam sekitar) dan Bhuana Alit (diri sendiri). Biasanya menjelang Nyepi masyarakat Bali menjelang upacara untuk membersihkan Bhuana Agung dan Bhuana alit dibersihkan pada puncak Nyepi yang diiringi dengan melakukan catur Brata Penyepian yang terdiri dari : tidak bekerja, tidak menyalakan api, tidak berpergian dan tidak bersenang-senang. Pada saat Ngembak Gni lah Bhuana Alit benar-benar disucikan dan mebuug-buugan sebagai simbol pembersihan.

Sebelum memulai Tradisi mebuug-buugan penduduk kedonganan melaksanakan upacara matur piuning (minta ijin) di Pura Bale Agung, Catus Pata, Pura Dalem dan Pura Segara. Lalu mereka berkumpul di balai desa untuk diberikan pengarahan oleh petugas. Setelah dilepas oleh bendesa adat mereka segera meunju hutan mangrove dan mereka saling melumuri lumpur ke sekujur tubuhnya satu sama lain. Yang mana lumpur disimbolkan sebagai Bhuta Kala dan saat Bhuta Kala memasuki tubuh kita harus dibersihkan, dengan mandi ke pantai sebagai simbol pembersihannya.

Semua kalangan usia bisa ikut memeriahkan tradisi mebuug-buugan, bahkan wisatawan lokal maupun asing yang berminat dapat ikut dalam tradisi ini. Dengan menggunakan kamen tanpa baju untuk partisipan laki-laki, dan untuk wanita tetap berbusana seperti biasanya, mereka sangat merasakan kegembiraan saat melangsungkan Tradisi yang digelar di daerah yang berilimpahkan oleh ikan tersebut. Memang Kedonganan dari zaman dulu terkenal sebagai pusat ikan terbanyak di Bali, hal ini juga dapat menarik wisatawan untuk berkunjung kemari.

Zaman dulu sebelum ditemukan shampoo sebagai sabun pembersih kepala, penduduk Bali menggunakan Lumpur sebagai pengganti shampoo, mereka mempercayai lumpur memiliki kandungan yang sama seperti shampoo. Karena dulu belum tercemari oleh sampah, mungkin saja pernyataan tersebut benar, namun berbeda halnya dengan zaman sekarang yang sudah dikontaminasi oleh sampah. walaupun hal tersebut terjadi, rakyat Kedonganan tetap menggelar tradisi ini yang semestinya memang harus dilestarikan.

Setelah mereka saling melempari lumpur, mereka berbondong-bondong menuju Pantai Pemelisan. Disanalah mereka akan membersihkan diri dari lumuran lumpur yang ada di sekujur tubuhnya. Dan saat inilah Bhuana Alit bisa mereka bisa dikatakan bersih. Tradisi ini sangat diminati oleh wisatawan asing maupun lokal karena memang tidak pantangannya, seperti bermain seru-seruan di lumpur. maka dari itu banyak peserta yang tidak sabaran untuk melumuri tubuhnya dengan lumpur kemudian mandi ke pantai.

Sumber : balitoursclub.net
(GC)

   Send article as PDF