Babad Dalem Tarukan Bagian II

Perjalanan Ide Bethara Dalem Tarukan Bagian I

Denpasar, (NS7) – Perjalanan Ide Bethara Dalem Tarukan sejak dari Puri Tarukan, secara berurut adalah sebagai berikut :

TARO

Di desa ini beliau tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena dikejar terus oleh pasukan Dulang Mangap, beliau memutar kembali menuju desa :

TAMPUWAGAN

Di suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada seorang petani yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan di tepi sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu beliau turut serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan Dulang Mangap yang mengagetkan para petani.

Kiyai Parembu bertanya, apakah para petani melihat Dalem Tarukan di sekitar situ. Para petani serentak menjawab, tidak melihat siapa-siapa apalagi Dalem Tarukan. Pasukan Dulang Mangap memeriksa sekali lagi dan meneruskan pengejaran ke utara. Beberapa saat kemudian si petani yang selesai membuang kotoran itu bangkit dari sungai, mencari bajunya namun tidak ditemukan.

Dalem Tarukan berdiri sambil membuka penyamarannya. Seketika para petani terkesima karena baru kali itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan yang tinggi besar, gagah perkasa, dengan raut wajah yang sangat tampan namun berwibawa. Kulit kehitaman dan rambut berombak yang panjangnya sebatas bahu menambah kewibawaan beliau. Para petani sujud menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui kehadiran beliau di antara mereka.

Beliau, Dalem Tarukan menjelaskan secara singkat halangan yang menimpa, serta berpesan : “wahai kamu sekalian rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-“cokor I Dewa” terhadapku. Kamu boleh menyapaku dengan “I Ratu, Gusti atau Jero”, karena aku akan tetap menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas dari pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan”.

Walaupun tidak rela, para petani itu serempak menyembah beliau dan merasa iba dengan nasib malang yang menimpa junjungan mereka itu. Dari Tampuwagan Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke desa :

PANTUNAN

Para pengejar yang mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan ada di Desa Pantunan, segera ke sana. Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ide Bethara Dalem Tarukan telah diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu bersembunyi di bawah pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur.

Ada sepasang burung perkutut hinggap di atas pohon Jawa tepat di atas persembunyian beliau seraya berkicau amat merdunya. Ada pula seekor burung puyuh berkeliaran dekat kaki beliau sambil berkicau. Para pengejar sudah berada dekat sekali ke pohon Jawa dan Jali tempat persembunyian beliau. Hampir saja mereka menguakkan semak-semak itu, namun tiba-tiba seorang pengejar mencegah. “Mana mungkin ada orang di situ, lihatlah burung-burung itu bertengger dan berkicau dengan tenang; jika ada manusia mereka sudah pasti terbang menghindar”

Pengejar yang lain membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan. Terhindarlah Ide Bethara Dalem Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu keluar dari semak-semak. Alangkah besar perlindungan Ide Sanghyang Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan burung-burung itulah yang diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau.

Di saat itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak dan burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan beliau tidak membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung perkutut dan burung puyuh. Di malam hari beliau meneruskan perjalanan ke desa :

POH TEGEH

Di desa Poh Tegeh (kini bernama Desa Suter) bermukimlah seorang kesatria bernama I Gusti Ngurah Poh Tegeh. Kesatria ini mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti Ngurah Poh Landung, atau Kiyai Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan dari Sri Jayakata, Raja Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong. Datang ke Bali pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan.

Sudah beberapa hari beliau mendengar berita bahwa Dalem Tarukan sedang berselisih dengan Dalem Wayan. Tiba-tiba di keremangan sinar bulan malam itu Kiyai Poh Tegeh terkejut menerima kedatangan Dalem Tarukan. Sang Kiyai segera menyambut dan bertanya meminta ketegasan, kenapa Dalem Tarukan datang mendadak, seorang diri tanpa pengiring.

Dalem Tarukan kemudian menjelaskan duduk persoalan selengkapnya dari awal hingga akhir. Kiyai mendengarkan dengan seksama, kemudian timbullah rasa ibanya. Kiyai memohon agar Dalem Tarukan tidak ke mana-mana lagi. Ia mempunyai suatu tempat yang dinamakan pedukuhan Bunga. Tempat itu dikitari hutan lebat dan jauh dari jalan yang biasa dilalui manusia. Dalem Tarukan menyetujui dan keesokan harinya beliau ke sana diiringi Kiyai Poh Landung.

PEDUKUHAN BUNGA

Di Pedukuhan Bunga beliau disambut oleh Dukuh Bunga yang juga menyediakan pondoknya untuk ditinggali Dalem Tarukan. Dalem Tarukan sangat terharu atas kesetiaan dan keramahtamahan Kiyai Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga dan seluruh rakyatnya.

Keberadaan beliau di pedukuhan dirahasiakan sehingga Dalem Tarukan menetap dalam waktu lama dengan tenang. Di sini beliau memperdalam ilmu kependetaan bersama-sama Dukuh Bunga. Di suatu hari Dalem Tarukan merasa sedih karena mengenang peristiwa hancurnya Puri Tarukan. Beliau belum tahu bagaimana nasib permaisuri yang ketika ditinggalkan sedang hamil tua. Lama beliau termenung. Hal ini diperhatikan oleh Kiyai Poh Landung.

Kiyai turut prihatin dan memikirkan bagaimana cara menghibur Dalem Tarukan. Kiyai menemukan jalan dan merencanakan menghaturkan putrinya yang bernama Ni Gusti Luh Puaji sebagai istri Dalem Tarukan. Beberapa hari kemudian Kiyai mengusulkan rencananya itu kepada Dalem Tarukan. Beliau menerima dengan baik usul Kiyai, dengan pertimbangan perlunya menurunkan “sentana” dan juga menghormati kesetiaan Kiyai Poh Landung. Pertimbangan yang sama pula disampaikan ketika para pengikut setia beliau di kemudian hari masing-masing menghaturkan putri mereka sebagai istri-istri Dalem Tarukan. Secara bertahap berkembanglah keluarga Ide Bethara Dalem Tarukan sebagai berikut :

NAMA MERTUA NAMA ISTRI NAMA PUTRA/PUTRI
Gusti Ngurah Poh Landung Gusti Luh Puaji Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari
Dukuh Bunga Jero Sekar Gusti Gede Bandem
Dukuh Darmaji Jero Dangin Gusti Gede Dangin
Jero Mekel Belayu Jero Belayu Gusti Gede Belayu
Gusti Gede Bekung Gusti Luh Balangan Gusti Gede Balangan, Gusti Luh Wanagiri

Di pedukuhan Bunga beliau sekeluarga hidup aman, tenteram, dan berbahagia. Di waktu-waktu senggang beliau menanam berbagai macam kembang, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran. Dengan kelima istri dan ketujuh putra/putrinya beliau hidup rukun dan damai; bercengkrama, bersenda gurau, bermain-main di hutan dan mandi-mandi di sungai diselingi gelak tawa riang putri, si bungsu Gusti Luh Wanagiri.

Ide Sanghyang Parama Kawi yang maha kuasa, telah mengaruniai beliau putra-putra yang tampan, gagah dengan ciri-ciri khas wibawa kebangsawanan. Tak kalah dengan si mungil, putri beliau satu-satunya, tanda-tanda kecantikan yang masih tersembunyi menunggu saat menyembul di kemudian hari.

Hentikan dulu sejenak cerita di pedukuhan Bunga. Kini diceritakan keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan. Sudah sekian lama Kiyai Parembu mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan, tiada kabar berita, membuat Dalem Wayan resah. Dalam hati kecilnya beliau menyesal telah mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun sebagai seorang Raja tidak mungkin beliau menarik kembali perintah itu.
Kini beliau mengharap semoga adik kandung beliau itu selamat dan untuk bisa selamat selamanya, diperkirakan Dalem Tarukan telah berhasil menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang terbaik adalah melalui Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari Marwadewa yaitu di Pura Penyusuan.

Rasa kesepian karena tiada saudara sekandung, perasaan bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari para Menteri yang tiada hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan Kerajaan Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah istri Dalem Tarukan yaitu bidadari dari Lempuyang moksah ketika putra yang dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda seperti orang yang sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Keadaan ini mengkhawatirkan beberapa menteri karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus berusaha menggulingkan kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh mengambil inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut Ngulesir untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja.

Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena sabungan ayam sedang berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh. Kiyai melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan.

Sejenak Dalem Ketut termenung membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga bersaudara. Kiyai melanjutkan permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan, beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ?

Pemikiran Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302 isaka).

Dalem Ketut Ngulesir membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik Kiyai Kebon Tubuh. Berita ini didengar oleh Dalem Wayan namun tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup. Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke Gelgel atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama menjadi Suwecapura. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada Dalem Ketut.

Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau moksah pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan moksah barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan. Segera setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak beliau, Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura.

Permintaan ini ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain : jika kembali ke Tarukan, istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang dialami beberapa tahun lampau. Istri beliau yang dicintai yaitu bidadari Lempuyang-pun (dijuluki : Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik beliau Dalem Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan lain mau juga menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di pedukuhan Bunga.

Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk meninggalkan pedukuhan Bunga. Bersambung (ACP/ESS)

   Send article as PDF