Bangun Krematorium Berlatar “Dresta” dan Kepentingan “Krama”

Badung, (NS7) – Krematorium menjadi salah satu solusi yang dapat dipilih masyarakat Hindu di Bali untuk melangsungkan proses ngaben. Namun, belakangan ada wacana yang menyatakan keberadaan krematorium mendobrak dresta yang sudah dimiliki Bali. Terhadap hal itu, Desa Adat Kerobokan mencoba memberi gambaran yang berbeda. DESA Adat Kerobokan yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Utara, memiliki 50 banjar adat, dengan 6.019 KK (kepala keluarga) dengan populasi penduduk mencapai 29.108 warga. Dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, aktivitas beryadnya tentu tidak sedikit, satu di antaranya Pitra Yadnya.

Melihat kebutuhan tersebut, desa adat yang kini dipimpin Jro Bendesa AA Putu Sutarja (55) ini, sedang merencanakan pembangunan krematorium atau tempat pembakaran mayat. Krematorium itu dicanangkan akan dibangun di Setra Pura Dalem Desa Adat Kerobokan.

Jro Bendesa AA Putu Sutarja mengatakan krematorium yang dibangun terdiri dari empat tunon (tempat pembakaran mayat, red) dengan luas 12 x 9,5 meter. Anggaran sebanyak Rp3,2 miliar pun disiapkan untuk membangun krematorium yang tujuannya mempermudah krama adat.

“Tujuan yang utama itu adalah untuk meringankan beban krama. Selain itu juga, terkait dengan program desa adat yakni ngaben massal yang biasa dilaksanakan dalam kurun waktu empat tahun sekali,’’ katanya ketika ditemui di Balai Desa Adat Kerobokan, Selasa (6/7) lalu.

Bendesa yang juga seorang advokat itu menyebutkan, selain program ngaben massal, Desa Adat Kerobokan mempunyai program ngaben masa yang biasanya setiap enam bulan dalam kalender Bali (satu bulan kalender Bali adalah 35 hari, red), yakni setelah Wuku Uncal Balung.

“Artinya, kita lakukan itu kalau ada warga yang meninggal langsung dilakukan upacara Makingsan di Gni. Inilah tujuannya untuk membuat krematorium, sehingga abu jenazah usai Makingsan di Gni bisa dititipkan di krematorium,’’ katanya.

Ia yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Madya Adat Kabupaten Badung itu melanjutkan kalau tidak Makingsan di Gni, maka tradisi di Desa Adat Kerobokan akan Makingsan di Ibu Pertiwi, yakni dikubur (mapendem). Jika melakukan proses tersebut, ketika warga yang meninggal akan diaben, maka terlebih dahulu akan melakukan prosesi ngendag. Prosesi ini akan menimbulkan biaya tambahan, antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per sawa (mayat).

”Dengan adanya krematorium dan tempat penitipan abu jenazah kami sudah meringankan beban krama dari segi pembiayaan tanpa meninggalkan dresta. Jadi dresta kita tidak hilang, (karena) di dalam krematorium itu ada tempat penitipan abu jenazah,’’ katanya.

Krematorium diproyeksikan akan membuat pelaksanaan ngaben masa dan ngaben massal semakin ringan. Masyarakat adat juga bisa bergotong royong membiayai upakara secara bersama-sama. “Berapa pun jumlah sawa yang ada dalam kurun waktu enam bulan, selama tidak dalam Wuku Uncal Balung, dilakukan ngaben masa,’’ katanya.

Krematorium yang ditarget selesai pada 2021 ini tidak semata-mata untuk mencari keuntungan walaupun di dalam pelaksanaannya ada unsur usaha. “Semua sarana terkait crematorium akan dikerjakan oleh serati dan uparengga Pura Dalem. Kami tidak akan melibatkan orang luar, itu akan kita kelola sendiri tunon (krematorium, red) itu,’’ katanya seraya memperkirakan biaya ngaben di krematorium tersebut nantinya sekitar Rp10 juta dalam tingkat upacara pranawa.

Krematorium dibangun di Setra Pura Dalem Kerobokan, pura terbesar di daerah Kerobokan yang disungsung oleh 20 banjar adat dengan penduduknya yang cukup padat. Kedua puluh banjar tersebut meliputi Banjar Batu Culung, Babakan, Beluran, Gadon, Silayukti, Jambe, Batubidak, Petingan, Muding Mekar, Muding Kelod, Muding Tengah, Muding Kaja, Tegeh Sari, Lepang, Kesambi, Gede, Tegeh, Kancil, Pengubengan Kauh, Pengubengan Kangin.

“Di Desa Kerobokan ada 8 pura dalem dan semuanya memiliki setra. Tunon itu pun nantinya tidak menutup kemungkinan bisa dipakai oleh krama tamiu yang ada di Dalung, karena setra yang didirikan krematorium tersebut memang untuk krama tamiu yang beragama Hindu. Namun, mereka tidak boleh mendem, hanya untuk ngaben,’’ katanya menyebut ada 12 lingkungan dari Desa Dalung yang memanfaatkan setra tersebut.

Ditambahkankannya, keberadaan krematorium tersebut menjadi usaha yang dalam aturan Perda Desa Adat di Bali, yakni baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA). ’’Di lokasi tersebut juga disediakan tempat upacara, misalnya perlu tempat payadnyan (tempat upakara ngaben/mamukur serta tempat sulinggih mapuja) dengan sistem bongkar pasang,’’ katanya.*

Sumber : MB

(ACP/ESS)

   Send article as PDF