Tradisi Barong Brutuk Trunyan

(NS7) – Barong Brutuk adalah sebuah kesenian tradisional warisan leluhur yang masih bertahan saat ini di desa Trunyan, Kintamani.  Memang pulau Bali tidak hanya menawarkan alam indah objek wisatanya saja, tetapi budaya dan tradisi yang terdapat di sejumlah tempat bisa menjadi daya tarik tersendiri. Bali memang kaya akan budaya dan seni, sehingga menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan yang liburan ke pulau Dewata Bali.

Seperti budaya dan tradisi yang dimiliki oleh penduduk desa Trunyan, tempat ini menjadi tujuan wisata unik, diantaranya adalah menyangkut tata cara pemakaman di desa trunyan.

Selain itu Desa Trunyan memiliki sebuah kesenian Kuno yang dikenal dengan Barong Brutuk, bahkan kesenian kuno tersebut diperkirakan sudah ada sebelum masuk pengaruh Hindu ke Bali.

Barong Brutuk tersebut, ditampilkan setiap dua tahun sekali pada saat piodalan atau upacara Ngusaba Kapat di Pura Pancering Jagat di desa Trunyan. Menurut Kalender Isaka Piodalan di Pura Pancering jagat jatuh pada hari Purnamaning Kapat. Pada saat piodalan atau Ngusaba Kapat tersebut dikenal dengan istilah Kapat Lanang dan Kapat Wadon.

Dan bertepatan saat Ngusaba Kapat Lanang, Barong Brutuk tersebut dipentaskan, ditampilkan oleh para teruna atau para remaja pria. Sedangkan Ngusaba pada tahun berikutnya yang dikenal dengan Kapat Wadon adalah kegiatan remaja puteri yang aktif untuk mengisi kegiatan saat upacara piodalan di pura dengan cara menenun kain suci.

Begitu unik dan menarik Barong Brutuk di desa Trunyan ini, karena kesakralannya Barong Brutuk tidak dipentaskan di sembarang tempat ataupun sembarang waktu. Jika anda kebetulan liburan di pulau Dewata Bali dan mengagendakan tour ke kawasan pariwisata Kintamani, anda bisa menikmati dan berkunjung ke desa Trunyan lebih dekat.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat Barong Brutuk tersebut adalah wujud rencang atau unen-unen (anak buah) dari leluhur masyarakat setempat yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar, sehingga tari tradisional Bali Kuno ini memang benar-benar sakral, dan tidak akan bisa anda temukan di tempat lainnya, selain di desa Trunyan.

Uniknya lagi pementasan Barong Brutuk tidak diiringi oleh gamelan seperti pementasan tari barong lainnya, dalam pementasan tidak terlihat adanya gerak tari. Begitu juga pakaian yang digunakan dari kumpulan daun kraras atau daun pisang yang sudah kering.

Tentu pakaian yang digunakan oleh Barong Brutuk tersebut jauh dari kemewahan apalagi gemerlap. Daun-daun pisang kering (kraras) tersebut konon hanya diperbolehkan diambil dari desa Pinggan. Daun pisang kering tersebut dirajut menggunakan tali dari kulit daun pisang juga, dibentuk seperti rok digantungkan pada leher, bahu dan pinggang penarinya.

Pakaian yang terbuat dari daun pisang kering tersebut cukup tebal sampai 3 lapis rangkaian daun kraras, serta celana dalam penarinya terbuat dari kelopak kering pohon pisang, dan memakai topeng, serta membawa sebuah cambuk berjalan mengelilingi halaman pura.
Warisan topeng-topeng kuno di desa Trunyan Kintamani yang dikenakan oleh Barong Brutuk memiliki ciri khas dan karakter masing-masing berbeda, ada topeng yang berwajah tegas dan kuat sebagai tokoh raja ada juga yang lebih feminim sebagai tokoh ratu, ada topeng sebagai tokoh patih dan kakak ratu, serta banyak lagi lainnya.

Bahkan konon jumlah topeng tersebut berubah-rubah setiap harinya terkadang berjumlah 21 terkadang 23 dan bahkan bisa 19 topeng, jadi berarapapun jumlah topeng yang ada di penyimpanan perhari itu, semua akan dipakai dan ditarikan oleh masing-masing pemain. Namun sampai saat ini belum diketahui secara pasti siapa pembuat topeng kuno tersebut, karena mereka menemukan sudah ada turun-temurun.

Pada saat keliling pura, Barong Brutuk dengan cambuknya akan dilecutkan ke penonton, lecutan cambuk yang mengenai tubuh tersebut dipercaya sebagai tamba (obat) yang bisa menyembukan penyakit.

Bagitu juga dengan pakaian dari potongan-potongan daun kraras (daun pisang kering) tersebut dipercaya membawa berkah dan keselamatan. Bahkan juga Barong Brutuk melemparkan buah-buahan dari persembahan ke para penonton yang berarti memberikan kesejahteraan dan kemakmuran.

Menjelang pementasan Barong Brutuk di pura Pancering Jagat desa Trunyan, para pemain yang terdiri dari para teruna (para remaja) desa, menjalani ritual penting, mereka selama 42 hari disucikan atau dikarantina di sekitar Pura Pancering Jagat dekat patung Bhatara Datonta atau Ratu Pancering Jagat.

Selama di karantina, mereka akan mempelajari tembang-tembang kuno dan membersihkan areal pura dan juga mereka pantang berhubungan dengan wanita, serta mengunpulkan daun-daun pisang (kraras) dari desa Pinggan.

Sumber : https://www.balitoursclub.net/barong-brutuk-trunyan/

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF