Sampai saat ini isi babad masih diyakini dan dihormati, karena dipandang memiliki nilai-nilai luhur yang harus dijunjung oleh keturunannya. Sebuah babad mengandung di dalamnya berbagai pengertian terkait dengan kepercaayaan yang dituangkan oleh penulisnya. Maka sebuah babad akan mengandung berbagai nilai sesuai dengan zaman, atau pengalaman penulisnya. Nilai-nilai itu antara lain: istana sentris, religius magis, raja-kula, mitologis dan sebagainya. Di dalam babad juga sering muncul semacam petuah (piteket) leluhur kepada para keturunannya. Piteket, petuah leluhur yang sudah dipandang suci sangat tinggi nilainya, bahkan sering dinilai sakral, sehingga tabu untuk dilanggar, umumnya dikenal sebagai Bhisama. Karena itu, warga masyarakat Hindu, yang sadar akan hubungannya dengan leluhur yang telah disucikan, akan merasa bersalah, bahkan berdosa, merasa dikutuk kalau melanggar bhisama. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan bhisama ? Menurut Zoetmulder (Kalangwan, 1985), istilah bisama berasal dari kata wisama (Sansekerta), artinya berrnacarn-macam seperti : berbeda (different), aneh (odd), tak seimbang (uneven), sukar (difficult), tidak menyenangkan (inconvenient), mengerikan, dahsyat (terrible), luar biasa (irregular). Jro Mangku Ketoet Soebandi menulis, bhisama itu mengadung arti, nasehat (piteket), teguran, perintah dari Ida Bhatara. Sementara Kamus Bali-Indonesia (Wayan Warna, 1978) menulis bhisama itu artinya, kaul (naur bisama = membayar kaul). Dalam hubungan ini, Parisadha Hindu Dharrna Indonesia (PHDI) telah mengeluarkan bhisama pada tanggal 25 Januari 1994 tentang kesucian pura. Disebut, bhisama itu merupakan batasan-batasan agar pura tidak tercemar kesuciannya” yang dikenal sebagai “apeneleng, apenimpug, apenyengker“. Apeneleng agung (batasan lima kilometer dari pura) dan apeneleng alit (minimal 2 kilometer dari pura). (Lihat, I Gusti Ngurah Sudiana, 2007: 18-19). Akan tetapi, tampak dari apa yang dapat dimengerti tentang bhisama di Bali (dapat disebut fatwa), sesungguhnya dapat diartikan sebagai “petuah kearifan” yang penting dimengerti agar satu pemikiran atau tindakan menjadi lebih memadai. Sebagai contoh, bhisama kesucian pura apaneleng, artinya radius wilayah kesuciannya sampai di batas pandang (apeneleng). Di mana batas pandang apeneleng itu ? Penentuan batas pandang itu tentu sesuai situasi (desa kala patra), dari mana, bagaimana, kapan melihatnya, yang dapat menetapkan titik pandang bersangkutan. Karena itu, satu bhisama, batas-batasnya tidak dapat ditetapkan secara matrik (diangkakan), tetapi lebih berpijak pada kebijakan rasa kearifan yang wajib dipatuhi. Biasanya suatu bhisama akan dikeluarkan orang suci atau orang yang dipandang suci, bijaksana, atau lembaga tinggi yang memiliki wewenang untuk itu. Banyak contoh yang bisa dikemukakan tentang bhisama dalam kehidupan masyarakat di Bali.
Dapat dimengerti sebuah bhisama (perintah, nasehat luhur) akan muncul dari seseorang, atau lembaga yang dihormati dalam keadaan-keadaan yang tidak biasa, sehingga terasa sulit dilaksanakan, bahkan sering tidak menyenangkan dan mengerikan. Dengan keyakinan yang penuh, mantap, kefanatikan pikiran dan jati diri yang dimiliki, sebuah bhisama akan mengandung nilai tersendiri bagi keturunan yang meyakininya. Dalam hubungan ini akan diungkapkan butir-butir bhisama, dan nilai-nilai luhur dari Ida Bhatara Dalem Tarukan, yang pemah muncul, atau dialami semasa hidup beliau. Tentu sebelumnya kita akan memilah, mana termasuk bhisama (dalam pengertian jamak) dan bagian mana dapat dilihat sebagai nilai-nilai luhur, sebagai pelajaran dan cermin kehidupan dari sebuah perjalanan dan pengalaman di masa lampau. Karena itu, sebuah bhisama selain dengan akal, kesadaran manusia yang terbatas, mungkin hanya dapat dirasakan, alami dengan pancaran intuisi yang terbuka, ajaran agama, tatwa (filosofis) menurut keyakinan masing-masing. Kebenaran itu pun relatif sifatnya.
Di sini diungkapkan Bisama dan Nilai-Nilai Luhur, terutama berkaitan dengan prilaku, kehidupan Ida Dalem Tarukan, dinasti Sri Aji Kresna Kepakisan. Tidak semua nasehat, prilaku beliau yang ditulis, tetapi hal-hal yang dipandang memiliki nilai penting berhubungan dengan rasa keyakinan menjunjung tinggi keluhuran budi leluhur, kemanusiaan, terkait sradha bakti pada Ida Sanghyang Widhi Wasa, dan Bhatara Kawitan. Melalui bhisama kita ingin memetik nilai-nilai berharga leluhur, dengan harapan mampu memberikan nuansa kerukunan dalam bermasyarakat (warga), dan bernegara, sehingga terjaga swadarmaning mekawitan, tarmalupeng pitra puja demi kehidupan damai sepanjang zaman.
Akhirnya, penulis tidak lupa menyampaikan puji, Suksmaning Idep serta doa “Mogha pwanghulun tan kataman upadrawa de Bhatara Hyang Nami, Wastu Paripurna ananggap pwa ayu, dirghayusa atutaken teka sakula gotrang kwa, namastu jagat dhitaya ” (moga-moga terhindar dari mala petaka dari Bhatara-Bhatari Kawitan dan Leluhur, semoga selalu diberkati kesempurnaan dan keselamatan, panjang umur dan bersatu bagi seluruh semeton dan senantiasa damai di dunia).
BHISAMA IDA DALEM TARUKAN DAN PANUGRAHAN
Sebelum sampai pada bhisama Ida Bhatara, ada baiknya kalau diungkapkan dahulu bhisama yang ada sebelumnya. Secara tradisi dimengerti bahwa sebelumnya telah muncul bhisama, nasehat secara gaib (legendaris) dari pendahulu yang dikenal sebagai Hyang Pasupati, sebuah sosok, figur kesucian yang dipercaya membawa berkah kehidupan manusia. Disebut, Hyang Pasupati menasehatkan kepada para pandita (Panca Pandita) agar memegang ilmu kepanditan, tidak lupa menjalankan kewajiban utama sebagai pandita, memahami ilmu pengetahuan berdasarkan sastra, berbuat baik dengan menyatukan pikiran, perkataan dan perbuatan (trikaya parisudha). Apabila melanggar, akan merosot wibawanya sebagai pandita. Sebagai warih (keturunanNya) para pandita pun sangat suka menerimanya. Nasehat (bhisama) ini penting diangkat sebagai gambaran bahwa sebelumnya memang telah ada yang mewariskan sesuatu yang bernilai luhur demi kebajikan umat manusia. Antara lain, diungkapkan bhisama dari Hyang Pasupati sebagai berikut: “Pira kunang antajin ikang kala, hana ta wara wakyan ira Bhatara Hyang Pasupathi, ring sira sang Panca Panditha, ndya talinga ira, putungku makabehan, wakna talinganing pangrenga, aywa lupa ambeking kapara marthan, putusing Kapandithan, tithi kamoksan, mwang haji taksaran, yan mangkene, sasnya mangkene, putus panugrahan ira Bhatara nimitaning haji taksara kabeh, soring Manu, trikaya parisudha ru, tattwa dyatmika, wekasyan hana parati santananta, warahen juga pawarah hulun mangke, nimitanya kengat akna lingning tithi gagaduhan, mwang Pandhita para martha, aywa lupa, yan hana santanan manira ntonto (?), kita nora nindiheng lepihan, ya dudu, santananta, mogha ta ya amingsor andadi Satrya, mwah kenget akna mahyu sang Kamimitan maring Bali, mwang walinya Kahyangan kawekas, mangakan ling Bhatara, antar lina Bhatara, angastungkara sira sang Panca Tirtha, angatur aken pangalpika, liwar restining antajnana, lwir kagunturaning sanji wani idhep ira, tangeh yang wasita, kna mangke punggel tekang cinarita sakareng”.
Artinya lebih kurang seperti berikut “Entah berapa lama, pada suatu ketika ada sabda dari Bhatara Hyang Pasupati, ditujukan kepada sang Panca Panditha, apa isi sabda beliau, cucuku sekalian, dengarkan baik-baik (buka telingamu baik-baik), jangan lupa dengan kebenaran tertinggi, tingkah laku seperti Panditha, ajaran (ilmu) kelepasan, dan ilmu pengetahuan sesuai dengan aksara, kalau begini, begini pula akibatnya, berakhirlah anugerah Bhatara, sebab itulah ilmu pengetahuan bagi manusia, satunya pikiran, perkataan dan perbuatan, sebagai ilmu kelepasan, kemudian bilamana ada keturunanmu, sampaikan juga amanatku ini, supaya selalu diingat tugas kewajibannya, demikian pula kewajiban selaku Pandhita yang utama, jangan lupa, dan apabila ada keturunanku ingkar, kamu tidak taat untuk menyampaikan, mereka itu bukanlah keturunanku, mudah-mudahan mereka surud menjadi ksatrya, dan agar selalu ingat serta menghormati para leluhur di Bali, serta upacara pada kahyangan sampai di kelak kemudian hari. Demikian sabda Bhatara, lalu menggaib. Panca Panditha berjanji dan menyanggupi serta sujud bhakti menyampaikan puja-puji, terharu sekali pikirannya, seperti memperoleh hidup yang bahagia pikirannya, panjang bila diceritakan, dan sekarang akhiri kisahnya sementara”.
Selanjutnya, bhisama Ida Dalern Tarukan dapat dipetik dari berbagai prilaku dan pengalaman hidup beliau, tertuang di dalam babad. Sebuah bhisama leluhur, tidak hanya dapat dilihat, dipetik dari apa yang secara langsung disampaikan melalui kata-kata (pangandika), tetapi juga dimengerti dari prilaku-tindakan yang dapat dilihat sebagai contoh-contoh yang dapat diteladani. Di sini diangkat beberapa yang dipandang perlu diperkenalkan untak menanamkan pemahaman, dan rasa kepercayaan warga terhadap kemuliaan budi leluhur, bhatara kawitan. Antara lain terungkap dari babad-babad sebagai berikut
Bhisama Berkaitan Dengan Burung Titiran, Puwuh dan Jawa-Jali
Sebuah bhisama, nampak selalu didahului oieh satu peristiwa, atau kejadian penting yang mendorongnya. Suatu ketika, pada saat Ida Dalem Tarukan – dalam pengungsian – tinggal di Pedukuhan Pantunan (Tampuagan) beliau dicari/selidiki oleh pasukan kerajaan dari Samprangan. Karena ketakutan, Ida Dalem Tarukan berusaha menyembunyikan diri, berjongkok di bawah pepohonan yang rimbun-jawa, jali (godem), sehingga tidak diketahui oieh orang-orang yang mencarinya. Keadaan terasa aman, ketika di atas pohon jawa jali itu bertengger, dan bersuara empat ekor perkutut (Bali: titiran). ada yang mematuk-matuk buah jawa, juga terdengar suara burung puyuh (puwuh) dibawah pohon yang rimbun itu. Melihat burung bertengger dan mendengar suaranya itu para penyelidik berpikir bahwa di sana tidak ada orang yang bersembunyi.
“Paserepe mepajar, jalan lenan laku yen Ida ditu dijawane, nguda ditu titirane ngetengkung, muah puwuh makuuk mamunyi ditu, yen Ida ditu tan purun paksine maswara”.
Artinya, para penyelidik berbicara, lebih baik dicari di tempat lain, sebab kalau beliau ada di sana di bawah pohon jawa, pasti burung perkutut itu tidak berani ada di sana, dan bersuara.
Maka tempat itu pun ditinggalkan oleh pasukan dari Samprangan, melanjutkan perjalanan pencarian mereka. Di sana Ida Dalem merasa terlindung dan selamat dari pengejaran pasukan Samprangan. Karena itu, Ida Dalem Tarukan kemudian mengucapkan sumpah, bhisama (renteh pangandika) untuk para keturunannya, yang diresapkan sampai sekarang.
“Nah iba paksi titiran, paksi puwuh, muah jawa jali dene jati iba makrana kai hidup, nah jani saenyah-enyah aku apang sing dadi amaksa iba. Samangkana Ida sawud pangandika ring I paksi titiran, muah ring I puwuh jawa jali” (BpGed. Kirtya: 15).
Dalam babad yang lain ditulis:
“mangke sasantanan ingsun tan amangana wahning jawa mwang jali, makadi paksi titiran mwang puwuh lumbha kateka tekeng dlahaning dlaha” (KdbB, Babad Pulasari, 1988: 34).
Dengan bhisama, piteket Ida Dalem Tarukan itu, sampai kini para sentana Ida Dalem Tarukan merasa patut memperhatikannya, dan karenanya tidak suka, atau tabu untuk memakan daging burung perkutut (titiran), puyuh (puwuh) dan buah jawa-jali (godem ?). Memakan daging burung perkutut, atau puyuh dipandang melanggar bhisama Ida Dalem. Bhisama atau fatwa untuk tidak memakan daging burung perkutut, jawa-jali, tentu patut dimengerti sebagai suatu nasehat bijak, satu bentuk rasa terima kasih kepada setiap orang yang telah membantu mcnyelamatkan jiwanya.
Bhisama Tentang HABAAS (sejenis tumbuhan buahnya dapat dimakan)
Setelah Dalem Samprangan mangkat, maka secara resmi Dalem Ketut Ngulesir dinobatkan menjadi raja dengan kedudukan di istana Gelgel. Ketika itu, Dalem Ketut mendengar berita bahwa Dalem Tarukan berada di Alas Bunga (Pedukuhan Bunga), menjauh dari istana. Beliau tidak mau kembali ke istana. Maka Dalem Ketut berpikir untuk menemuinya, dan menugaskan orang-orang untuk mencari Dalem Tarukan. Mcndengar berita pencarian itu, Dalem Tarukan justru ingin menghindar, dan berusaha pergi ke arah yang lebih jauh lagi. Pada saat itu Ida Dalem Tarukan pergi arah mengutara, menuju desa Panerajon, kemudian menuju Balingkang (tinggal di sana selama 1 bulan). Di Balingkang beliau tinggal bersama putra-putri beliau. Dari Balingkang, pindah lagi ke Sukawana. Diceritakan, di tengah perjalanan Dalem Tarukan bertemu dengan I Pasek Darmaji yang saat itu dilihat membawa bungkusan (takilan) beras. Ditulis, Ida Dalem berkata:”apa aban cai Pasek ?” (Apa yang kau bawa Pasek ?). Dukuh Darmaji menjawab, “kaula makta beras” (Hamba membawa bungkusan beras). Dalem Tarukan berkata lagi. “Den aku idiha takilan ibane bakal baang icening, basang I Cening ba seduk, sing pesan maajengan” (Berilah aku minta bungkusan beras itu, akan kuberikan anakku, dia sangat lapar, dia tidak makan sama sekali). Saat itu, Dalem memberikan beras itu kepada putra-putra beli untuk dimakan. Pada saat itu, putri terkecil (Ni Gusti Ayu Wanagiri) — setelah makan beras — merasa sakit perutnya, Rasa sakit tidak dapat diohati, dan mengakibatkan putri meninggal dunia di tengah perjalanan. Melihat peristiwa itu, muncul rasa marah, perih tidak tertahankan dari Ida Dalem, dan dengan sikap spontan, tampak emosi menendang bungkusan sisa beras tersebut. Waktu itu Ida Dalem berkata, mengeluarkan kutuk (pastu) sebagai berikut: “wastu mentik dadi habaas apang setereh aku tan dadi maksa habaas”. Itu artinya, bahwa seketurunan beliau tidak diperkenankan memakan habaas, agar diingat oleh para sentana (BpfS: 12).
Dalam Babad yang lain ditulis bukan habaas, tetapi baas (beras). “..mawastu seda putra Dalem irika, raris katanjung takilan beras punika, raris kepastu antuk Dalem, wastu mentik dadi baas, apang satreh aku tan dadi maksa baas…”. Kalau diartikan menjadi: “Ternyata wafat putra Dalem, lalu ditendang bungkusan beras itu, dan dikutuk (pastu) oleh Dalem, tumbuhlah menjadi beras (baas), agar seketurunanku tidak boleh memakan beras” (BpgK: 16a).
Sementara Babad Pulasari Puri Kawan Singaraja menulis agak berbeda pula sebagai berikut:
“wau kajeng beras punika antuk okane, tan dumade sungkan weteng okane istri 1 Gusti Luh Wanagiri, mawastu seda putran Dalem irika, raris katanjung takilan beras punika, raris kapastu antuk Dalem. Wastu mentik dadi baas, apang satreh aku tan dadi malcsa beras” (BpkS: 16a). Artinya, baru dirnakan beras itu oleh putrinya Ni Gusti Luh Wanagiri, wafat putra Dalem itu, lalu ditendang bungkusan beras itu dan dikutuk oleh Dalem. Semoga tumbuh menjadi baas (beras), agar seketurunanku tidak boleh memakan beras (mentah ?), Rupanya kalau bukan tumbuh menjadi habaas (sejenis tumbuhan yang buahnya bulat sedang), maka bisa juga. diartikan “tumbuh menjadi padi/beras, dan para sentana dianjurkan tidak memakan beras mentah, itu hisa membuat sakit perut, Int juga dapat dimengerti sebagai nasehat bijak, bahwa jangan sekali memberikan makan beras mentah untuk bayi karena itu akan berbahaya. (*)
Sumber : Bhisama dan Nilai-nilai luhur Ida Dalem Tarukan
Penulis : I Gde Parimartha, I Gde Swardiyana, Jro Mangku Sari, I Ketut Regig
(GP/NS7)