Dana BOS, (Jangan) Kasus Lagi

(NS7) – Akhirnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim memastikan persyaratan sekolah penerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memiliki minimal 60 peserta didik, tidak berlaku di tahun 2022. Artinya, semua sekolah, berapapun peserta didiknya, akan menerima uang BOS. Keputusan ini patut diapresiasi.

Seperti kita tahu, kebijakan Kemendikbudristek soal Dana BOS menuai protes. Kali ini bukan soal jumlahnya, namun peruntukannya yang membuat geger. Masalahnya, ada kebijakan baru dari Kemendikbudristek. Bagi sekolah swasta yang jumlah siswanya kurang dari 60 orang dalam tiga tahun terakhir ini, bakal tidak akan menerima alokasi dana BOS reguler.

Ketentuan yang memunculkan protes tersebut tertuang dalam Permendikbud 6/2021 yakni mengenai Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler. Dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d dijelaskan bahwa ada persyaratan baru untuk bisa mendapatkan dana BOS. Pasal tersebut menjelaskan bahwa syarat sekolah memperoleh dana BOS reguler adalah memiliki jumlah siswa paling sedikit 60 siswa selama tiga tahun terakhir. Namun ketentuan pemerintah ini tidak berlaku di antaranya untuk sekolah negeri.

Diskriminatif

Kebijakan tersebut dianggap diskriminatif karena membeda-bedakan. Padahal sesuai UUD 45 bahwa pendidikan hak semua warga negara. Hal ini jelas melanggar amanah konstitusi dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial.

Makanya, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang terdiri dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, LP Maarif PBNU, PB PGRI, Taman Siswa, Majelis Nasional Pendidikan Katolik, dan Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia angkat bicara. Aliansi ini bersepakat dan mempertanyakan Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang kriteria sekolah penerima Dana BOS Reguler. Aliansi menyebut, kriteria yang tercantum dalam pasal tersebut sangat diskriminatif, mencederai amanat Undang-Undang Dasar.

Pasalnya, sebaran serta akses pendidikan di Indonesia belum merata. Saat ini sekolah yang dikelola Organisasi Penyelenggara Pendidikan tersebut tidak hanya berada di perkotaan saja, tetapi tidak sedikit yang berada di daerah terpencil dan sulit diakses. Hal itu menyebabkan jumlah peserta didiknya tidak memenuhi kriteria untuk mendapatkan bantuan dana BOS. Terlebih lagi pada situasi pandemi Covid-19 keadaannya juga semakin memprihatinkan.

Jadi, apa yang dilakukan pemerintah dengan membatasi penerima dana BOS berdasar kriteria jumlah siswa jelas diskriminatif. Terlebih pada kenyataan, banyak ditemui, tidak sedikit dari sekolah swasta yang menerima siswa karena tidak dapat masuk ke sekolah negeri karena keterbatasan kuota. Bila tidak diterima, maka bisa jadi anak-anak tersebut tidak dapat bersekolah dan menerima pendidikan yang layak.

Sudah sepatutnya Kemendikbudristek menghapus Pasal 3 ayat (2) huruf d di Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021. Penolakan serta desakan dari berbagai pihak untuk menghapus ketentuan tentang kriteria penerima BOS harus dilihat sebagai kritikan membangun untuk negara. Agar kebijakan pendidikan nasional tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan menjauhkan praktik diskriminasi.

Pemerataan

Dana BOS Reguler yang besarannya Rp 52,5 triliun untuk 216.662 satuan pendidikan (sekolah) mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, serta SLB di Indonesia pada 2021 sejatinya merupakan dana yang digunakan untuk mendanai belanja non-personalia bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sebagai pelaksana program wajib belajar. Dana ini juga dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kehadirannya diharapkan mampu meningkatkan mutu pembelajaran dan pemerataan akses layanan pendidikan di seluruh Indonesia.

Pengelolaan dana BOS Reguler juga dilaksanakan berdasarkan prinsip fleksibilitas, penggunaan dana harus dikelola sesuai dengan kebutuhan sekolah. Efektivitas, penggunaannya diharapkan dapat memberikan hasil dan pengaruh untuk mencapai tujuan pendidikan. Efisiensi, penggunaannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa dengan biaya seminimal mungkin dengan hasil yang optimal. Akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan secara keseluruhan. Serta, adanya transparansi dalam penggunaannya.

Tentu kita tidak ingin, dengan pola baru pemberian dana BOS akan membuat banyak sekolah swasta gulung tikar. Justru seharusnya pemerintah berterima kasih pada Muhammadiyah, PGRI, Ma’arif NU, Taman Siswa, dan Pendidikan Katolik. Lembaga-lembaga tersebut membantu kebijakan pendidikan di negeri kita. Merekalah yang membantu pemerintah untuk membentuk generasi muda cerdas berpendidikan.

Kita juga berharap, tidak diberlakukannya pembatasan jumlah peserta didik sekolah penerima BOS ini tidak hanya untuk tahun 2022 saja, tetapi juga di tahun-tahun berikutnya. Pendek kata, sampai kapan pun jangan ada perlakuan membeda-bedakan sekolah atau peserta didik. Semua mempunyai hak yang sama dan hal ini juga dijamin oleh UUD 1945.

Semoga ke depan setiap kebijakan yang diputuskan Kemendikbudristek tidak malah menimbulkan kontraproduktif di masyarakat. Kita jengah dengan adanya kebijakan yang menimbulkan reaksi negatif masyarakat, baik kalangan pendidik maupun orang awam. Kasus dana BOS ini mestinya menjadi pelajaran berharga bagi Mendikbudristek Nadiem Makarim dan jangan sampai terjadi kasus sejenis di masa-masa mendatang.

Agar di masa-masa mendatang tidak muncul masalah-masalah lagi di dunia pendidikan, sebaiknya jajaran Kemendikbudristek menjalin hubungan baik dengan mitra kerjanya di bidang pendidikan, yaitu NU, Muhammadiyah, Taman Siswa, Yayasan Kanisius, De Britto, PGRI, dan lainnya. Setiap akan membuat kebijakan, perlu melakukan sharing dengan mereka. Pasti para stakeholder yang mengetahui secara persis problema dunia pendidikan akan memberi banyak masukan, sehingga akan dihasilkan keputusan yang terbaik bagi seluruh bangsa Indonesia. Jangan sampai, saat kebijakan akan diterapkan mereka baru tahu, dan akhirnya protes.

(AR)

Sumber : detikNews.com

 

 

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF