Desa Wisata Blimbingsari, Wisata Budaya Sekaligus Bukti Toleransi Beragama di Bali

(NS7) – Bali memang menarik. Keindahan alam, budaya, serta toleransi beragama bisa dijumpai di sini. Desa Wisata Blimbingsari merupakan salah satu buktinya. Di sini, para wisatawan tidak hanya bisa menyaksikan kekentalan budaya asli Bali, tapi juga wujud toleransi beragama yang dijalankan oleh para warganya.

Ketika memasuki Desa Wisata Blimbingsari, Anda akan merasakan nuansa kebudayaan Bali yang sangat kental. Di desa ini terdapat dua buah bangunan gereja yang megah. Gereja tersebut berada di Banjar Blimbingsari (Gereja Pniel) dan di Banjar Ambyarsari (Gereja Imanuel).

Pura Gereja di Desa Wisata Blimbingsari, Pura Tertua dan Terunik

Tak seperti bangunan gereja pada umumnya yang bergaya arsitektur Eropa nan megah, gereja di Desa Wisata Blimbingsari dibangun menyerupai pura. Ornamen serta ukir-ukiran pada setiap sudut bangunan gereja merupakan ukiran khas Bali. Oleh karenanya penduduk setempat pada sebelum tahun 1970an menyebutnya sebagai “Pura Gereja”. Gereja di desa ini dikenal sebagai gereja tertua dan terunik di Bali.

Jika di gereja pada umumnya, lonceng dipakai untuk memanggil para umat untuk melaksanakan ibadah. Namun berbeda dengan gereja di sini yang menggunakan kulkul yang terbuat dari kayu yang digantung. Oleh karenanya dibuatkan tempat tersendiri bernama Bale Kulkul untuk meletakkan kulkul atau kentongan.

Tak berbeda dengan desa wisata lainnya di Bali, Desa Wisata Blimbingsari juga memiliki keindahan khas pedesaan Bali yang sangat terjaga. Suasana desa sangat rapi, hijau dan bersih. Taman-taman atau kebun di pinggir jalan tertata rapi sehingga sangat enak dipandang mata. Bahkan tak terlihat sampah-sampah berserakan di desa yang seluruh penduduknya menganut agama Nasrani ini.

Wujud Toleransi Beragama di Desa Wisata Blimbingsari Bali

Toleransi beragama sangat kental terasa di Desa Wisata Blimbingsari yang berlokasi di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, ini. Bahkan ketika perayaan Natal atau perayaan hari raya lainnya tiba, seluruh masyarakat desa sangat antusias untuk memasang penjor. Mereka beranggapan jika hari raya tidak memasang penjor, serasa kurang semarak.

Tidak cukup sampai disitu, umat Nasrani di desa ini saat mengadakan kebaktian di gereja juga menggunakan pakaian adat Bali lengkap seperti kamben, udeng, kebaya dan lainnya. Para pendeta yang memimpin kebaktian juga berkhotbah menggunakan bahasa adat Bali.

Bahkan ketika mengiringi musik puji-pujian, alat musik yang digunakan adalah gamelan khas Bali. Inilah mengapa banyak wisatawan merasa terkagum-kagum bagaimana toleransi agama dan perpaduan budaya dapat terbentuk dengan penuh keselarasan di Desa Wisata Blimbingsari ini.

Desa yang berdiri di areal lahan seluas 450 hektar ini pertama dibuka pada tahun 1939. Tokoh perintisnya adalah bapak Made Regug, Pendeta Made Rungu dan beberapa orang lainnya. Ketika itu mereka meminta ijin kepada Sedahan Agung untuk membuka hutan yang akhirnya menjadi sebuah desa yakni Desa Blimbingsari.

Pada awalnya bangunan gereja dibangun dengan gaya arsitektur Eropa, namun karena gempa pada tahun 1971, bangunan gereja mengalami kerusakan. Pada akhirnya gereja dibangun ulang dengan struktur bangunan yang sama dengan pura yakni memiliki halaman luar atau jaba sisi, terdapat gapura serta tempat sembahyang.

(YD)

Sumber : kintamani.id

   Send article as PDF