Filosofi Kopi Purnama yang Legendaris di Bandung

(Nusantara7.id) – Jika detikers melintasi Jalan Alkateri di Kota Bandung, ada satu kedai kopi yang bisa mencuri perhatian. Namanya ialah Warung Kopi Purnama.
Warung Kopi Purnama ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada 1930. Warung kopi ini tak terlalu luas, bahkan jika banyak pengunjung, antreannya bisa sampai luar pintu.

Memasuki area dalam bangunan, pengunjung akan dibuat nyaman karena merasa seperti di rumah sendiri. Interiornya tak berlebihan, tetap cantik tanpa mengubah sentuhan masa lampau.

Di bagian dinding juga terdapat potret pemilik Kopi Purnama dari generasi ke generasi. Salah satu yang menarik mata, ialah terpasang potongan papan nama toko yang dibuat pada 1930.

“Ini papan nama toko saat tahun 1930, namanya masih Tjhiang Song Shi, artinya silakan mencicipi kedai teh ini. Potongan papan nama ini dari kayu jati, ditemukan di dalam tanah saat sedang membangun area non smoking pada tahun 2016. Tapi hanya potongan, sisanya tidak ditemukan,” terang Putra, karyawan yang telah bekerja enam tahun di Kopi Purnama.

Warung kopi yang tertua di Bandung ini harus mengganti nama menjadi Warung Kopi Purnama pada tahun 1962. Itu karena pada masa orde baru yang melarang penggunaan nama bahasa asing. Menurut Aldi Yonas sebagai penerus generasi ke-4 Kopi Purnama, penggunaan nama ini bukan tanpa alasan.

“Generasi kedua saat itu memilih nama Purnama, karena seperti yang kita tahu bulan purnama adalah fase bulan yang paling bulat menyala sempurna. Kami berharap adanya keberuntungan dari nama tersebut. Nah, filosofi inilah yang mempengaruhi interior lampu kami,” jelas Aldi pada detikJabar, Rabu (25/5/2022).

Melihat dari depan hingga belakang area warung kopi, akan banyak ditemukan lampu yang bentuknya hanya bulat sempurna, persis seperti bulan purnama. Lampunya tanpa menggunakan aksen tudung atau penutup. Hanya bulat menggantung dan menyinari dengan sempurna setiap sudut ruangan.

“Kalau ini adalah lemari koleksi barang-barang yang digunakan selama operasional warung kopi jaman dulu. Ditemukan juga saat sedang membangun area non smoking di belakang. Ada cangkir, bahkan untuk penimbang kopi juga ada,” tutur Putra.

Tak hanya bangunan yang lekat dengan akulturasi Belanda-China-Indonesia, menu yang dibawakan pun mengikuti perpaduan budaya tersebut. Semuanya berusaha dipertahankan hingga generasi keempat, meski kini coffeshop yang kekinian mulai menjamur.

“Ciri khas adalah modal utama kami. Srikaya buatan kami berbeda dengan Malaysia yang merupakan jajahan Inggris. Mereka punya warna yang hijau kekuningan, kalau punya kami lebih ke coklat gelap dan rasanya lebih gurih. Ini bergantung pada resep racikannya sendiri,” ujar Aldi.

“Untuk minuman, selain kopi susu ada pula teh susu. Ini juga beda dari Singapura yang namanya adalah Teh Tarik. Ciri khas Teh Susu kami untuk rasa tidak jauh beda seperti teh tarik, namun tidak pakai metode tarik,” imbuh bungsu dari dua bersaudara tersebut.

Misi Kopi Purnama untuk mempertahankan keaslian cita rasa inilah yang membuatnya selalu ramai dari generasi ke generasi. Mereka yang sejak dulu telah langganan akan kembali lagi, dan mereka yang baru datang akan penasaran mencicipi.

“Umur hanyalah angka, kami tidak pernah berhenti belajar untuk bisa bertahan. Kami berharap bisa segera buka cabang di kota lain, tapi untuk tahun kapan dan di kota mana masih belum tahu ya. Doakan saja,” pungkas Aldi.

Bagi Anda yang ingin berkunjung ke sini, bisa menempuhnya dari Jalan Asia Afrika. Sebelum perempatan Jalan Otista, belok ke kanan. Jaraknya cukup dekat. Jika tak bisa menemukan Kopi Purnama, cukup tanyakan pada warga sekitar, mayoritas sudah tahu.

Untuk harga, tak perlu khawatir. Harganya tergolong ramah di kantong. Semua menu yang ada di sini berkisar Rp 3 ribu hingga Rp 47 ribu. (AGP/GS)

Source : https://www.detik.com/

Baru! Tayangan Video dari Bali Digital Channel
klik: https://s.id/BaliDigitalChannel

#BaliDigitalChannel #Nusantara7

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF