(NS7) – Kampung Bena merupakan sebuah kampung pariwisata yang terletak di Desa Tiwu Riwu, Kecamatan Jerebu`u, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung Bena adalah kampung adat yang terkenal dengan rumah adat dan tradisi nenek moyangnya.
Terletak di kaki Gunung Inerie (2.245 mdpl) dan dikelilingi bambu dan pohon beringin yang begitu rimbun menjadi ciri khas dari kampung tua ini.
Di sebelah Timurnya, terdapat sebuah bukit yang dikenal dengan nama Wolo Ra, dan di sebelah Barat terdapat Gunung Inerie, di bagian Selatan kita dapat melihat keindahan pantai selatan Pulau Flores. Sedangkan di sebelah Utara ada bukit Manulalu, sebuah bukit wisata dengan banyak vila-vila bagi wisatawan.
Untuk mencapai Kampung Adat Bena, Jika dari Bajawa, ibu kota kabupaten Ngada, bisa menempuh jarak kurang lebih 22 kilometer. Dan pastinya kamu bakal melalui jalanan yang menurun dan tanjakan.
Tak hanya itu, kelokan-kelokan ekstrem juga akan ditemui di sepanjang perjalanan dari Bajawa. Jika dari Kota Ende, Anda bisa menyewa jasa kendaraan travel menuju Kampung Bena.
Kampung Bena dibuka untuk wisatawan dari pukul 08.00 WITA sampai pukul 17.00 WITA. Ketika masuk, Anda akan dikenai karcis masuk untuk wisatawan lokal Rp 20.000 per orang dan untuk wisatawan mancanegara dikenai karcis Rp 25.000 per orang.
Setiap pengunjung akan dikalungi selendang sebagai simbol, bahwa para pengunjung telah masuk di kampung tersebut.
Kampung Bena Dihuni 9 Suku
Kampung yang dihuni oleh 57 Kepala Keluarga (KK) atau 368 jiwa ini berbentuk letter U dan memiliki 45 rumah adat.
Bangunan rumah penduduk terbuat dari kayu dan masih beratap rumbai. Rumah–rumah di perkampungan adat ini dibangun dengan mempertahankan kontur asli tanah. Oleh karena itu, bentuk kampung nampak berundak-undak.
Masyarakat di sana hidup mempertahankan tradisi leluhur mereka sejak zaman batu. Kampung Bena sungguh menggambarkan sisa peradaban kuno megalitikum dengan rumah kayu yang beratap rumbai.
Selain itu, ada juga tempat sesajen kepada para leluhur yang terbuat dari batu yang disusun berundak-undak. Ada pula batu berbentuk lonjong dan meja sebagai tempat untuk melakukan ritual adat.
Kampung tua ini dihuni oleh sembilan suku yakni, suku Kopa, suku Tizi Azi, suku Ngadha, suku Ago, suku Bena, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solomai, suku wato, dan suku Tizi Kae.
Dari sembilan suku yang mendiami kampung, Suku Bena dianggap sebagai yang paling tua dan dianggap sebagai pendiri kampung, sehingga menempati undakan yang ada di bagian tengah kampung.
Aktivitas rutin kaum perempuan di kampung tradisional ini adalah menenun dan para lelaki biasanya berkebun dengan penghasilan komoditi berupa; kakao, kemiri, dan cengkeh.
Mengunjungi kampung tua ini, Anda akan menyaksikan secara langsung aktivitas Mama – Mama (sebutan untuk kaum perempuan tua di Bena) yang sedang menenun. Jika tertarik, kain tersebut bisa dibeli dengan bentuk sehelai kain sarung sebagai oleh-oleh.
Ada 9 Gaduh dan 9 Baga

Menurut salah seorang warga Kampung Bena, Paulus Mako Pea, di tengah-tengah kampung Bena terdapat bentuk rumah kecil berjumlah sembilan buah yang dinamakan Gadu melambangkan laki-laki, sedangkan yang berbentuk seperti payung yang dinamakan Baga dengan jumlah sembilan buah dan melambangkan perempuan.
Paulus Mako Pea bercerita, adapun jumlah sembilan gaduh dan sembilan Baga ini disesuaikan dengan sembilan jumlah suku yang ada di kampung Bena.
Di ujung utara kampung ini juga terdapat sebuah kursi persidangan yang dinamakan Turebupati. Kursi ini hanya diduduki oleh ketua suku guna memecahkan persoalan yang ada dalam lingkup kampung Bena.
“Kursi persidangan atau Turebupati itu hanya bisa diduduki oleh ketua suku jika ada persoalan dalam kampung dan akan membahas di Turebupati,” ujar Paulus saat berbincang dengan Florespedia.
Di tengah kampung juga ada batu berbentuk lonjong dinamakan Watu Lewa dan juga batu yang berbentuk seperti meja dinamakan Nabe. Biasanya, di kedua batu tersebut warga membuat ritual adat.
“Kampung ini diperkirakan ada sejak 1.200 tahun yang lalu dan batu-batu besar ini di bawah oleh raksasa dan bekas kakinya masih ada sampai sekarang,” jelas Paulus.
Ketua Pengelola Kampung Adat Bena, Emanuel S, mengatakan pada tahun 1992 dana dalam mengelola kampung tersebut masih dalam sistem donasi atau sukarela oleh anggota suku yang mendiami kampung adat ini.
Kemudian, pada tahun 1992 bekerja sama dengan pemerintah desa, mulai disumbangkan dana guna mengelola kampung. Sampai pada tahun 2013 disepakati melalui peraturan desa (Perdes) untuk mengadakan karcis bagi pengunjung.
“Adanya karcis sampai sekarang karena sudah bentuk dalam peraturan desa dan kami pun akan merencanakan agar ke depan harga karcisnya naik dari Rp 25.000 menjadi Rp 35.000 bagi pengunjung mancanegara, sedangkan pengunjung lokal harganya masih stabil seperti sekarang yaitu Rp 20.000,” tukas Emanuel.
Ia menambahkan, dana yang disumbangkan oleh wisatawan yang datang berkunjung digunakan untuk mengelola kampung adat ini agar tetap mempertahankan keasliannya.
Lanjut Emanuel, pihaknya akan tetap mempertahankan jejak warisan budaya nenek moyang yang luhur ini sehingga menjadi kisah peradaban yang terus diwariskan kepada generasi penerus.
(YD)
Sumber : kumparan.com