Keunikan Tradisi Perang Pandan Desa Tenganan Bali Sebagai Bentuk Kedewasaan

Karangasem, (NS7) – Berbicara tentang budaya Bali memang nggak akan ada habisnya. Mulai dari tari-tarian, kuliner, sampai tradisi budayanya pun sangat menarik untuk disimak. Terlebih lagi jika Sahabat berkunjung ke Desa Tenganan yang terkenal dengan tradisi perang pandannya. Tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu dan masih dilakukan sampai sekarang ini untuk menarik banyak wisatawan datang ke desa tersebut.

Lalu, bagaimana dengan tradisi dan sejarah dari perang pandan tersebut?

Bali Aga dan Sejarah Tradisi Perang Pandannya

Di Bali, ada tiga desa yang penduduknya merupakan orang Bali asli yang dikenal dengan nama Bali Aga. Sedangkan penduduk yang lain merupakan pendatang dari Jawa dikenal sebagai Bali Majapahit. Tiga desa tersebut adalah Desa Trunyan, Desa Sambiran, dan Desa Tenganan yang juga memiliki perbedaan budaya dengan desa lain yang ada di Bali.

Jika masyarakat Bali Majapahit mengenal Dewa Siwa sebagai dewa utamanya maka bagi masyarakat Bali Aga lebih memuja Dewa Indra sebagai dewa utamanya. Selain itu banyak perbedaan dari kedua masyarakat ini seperti ketika Bali Majapahit melakukan tradisi Nyepi maka Bali Aga nggak melakukan tradisi tersebut.

Nah, jauh sebelum masyarakat Bali Majapahit berpindah ke Bali. Dahulunya ada seorang raja yang memerintah masyarakat Bali Aga yang terkenal juga dengan kekejamannya. Raja tersebut bernama Maya Denawa yang dikenal memiliki kesaktian yang nggak ada tandingannya. Dari kesaktiannya itulah Maya Denawa melarang rakyatnya untuk menyembah Dewa Indra dan menyebut dirinya sebagai dewa.

Karena dinilai sudah di luar batas, maka masyarakat Bali Aga berdoa dan memohon kepada Dewa Indra untuk membebaskan penduduk dari kekejaman raja tersebut dan pada akhirnya Raja Maya Denawa dapat dikalahkan. Nah, untuk memperingati hari kebebasan tersebut dan sekaligus untuk menghormati Dewa Indra maka masyarakat melakukan tradisi perang pandan tersebut.

Bertarung Sebagai Tanda Kedewasaan

Tradisi perang pandan ini dilakukan oleh para pemuda Desa Tenganan. Perang ini juga sebagai tolok ukur bahwa seseorang sudah dianggap dewasa karena bernyali untuk melakukan pertarungan tersebut. Senjata yang digunakan adalah daun pandan besar berduri yang kemudian ditumpuk. Lalu untuk tamengnya sendiri menggunakan anyaman dari rotan.

Peraturannya cukup sederhana, juri akan menilai kedua peserta yang akan berduel dari postur tubuhnya. Jadi mereka yang berperang akan ditentukan oleh juri tersebut. Nggak hanya dari peserta asli Desa Tenganan saja karena wisatawan pun juga boleh menjadi pesertanya.

Biasanya tradisi perang ini dilaksanakan saat pagi hari untuk memohon keselamatan dan kelancaran. Karena yang dipakai adalah pandan berduri, maka akan ada banyak bekas goresan dan luka di tubuh petarungnya, namun semuanya tampak senang karena tradisi tersebut memang bertujuan sebagai perayaan syukur.

Setelah perang pandan tersebut dinyatakan selesai, maka dilanjutkan dengan pementasan tari-tarian untuk menghibur pengunjung yang datang dan diakhiri dengan pengobatan peserta yang terluka.

Sumber : adira.co.id
(ESS/ACP)

 

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF