Kisah Achmad Mochtar, Dokter Heroik Pelopor Kebangkitan Sains Indonesia

(NS7) – Tidak banyak diketahui oleh masyarakat bahwa Indonesia memiliki tokoh pelopor kebangkitan ilmu pengetahuan, yaitu Prof. Dr. Achmad Mochtar. Mochtar merupakan seorang dokter sekaligus ilmuwan yang lahir di Bonjol, pada 10 November 1890.

Dalam acara bedah buku Tumbal Vaksin Maut Jepang yang diselenggarakan oleh Pustaka Obor Indonesia, Kamis (16/9/2021), Prof. Dr. Sangkot Marzuki, M.Sc., Ph.D., D.Sc., Direktur Lembaga Eijkman pada tahun 1992-2014 dan Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang bertindak sebagai pembicara mejelaskan bahwa Mochtar mendapatkan gelar Indisch Arts (Dokter Hindia) di STOVIA pada tahun 1915.

STOVIA merupakan sekolah pendidikan dokter pada zaman penjajahan Belanda yang sempat berubah nama menjadi Ika Daigaku saat Jepang mengambil alih wilayah Indonesia, atau yang saat ini dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Prof. Sangkot menambahkan, Mochtar merupakan sesorang dokter yang sejak awal karirnya telah menunjukkan minat serta kemampuannya.

Karenanya, Mochtar berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan dokter di Universitas Amsterdam, Belanda, bersama Raden Soesilo dan Mas Sardjito. Tidak lama setelah itu, mereka berhasil lulus dengan mudah sebagai dokter berkualifikasi setingkat lulusan Belanda yang bergelar Arts.

Mereka juga kembali melanjutkan pendidikan dokternya dengan fokus pada Laboratorium sebagai persiapan disertasi doktoral. Berkat kepandaiannya, Mochtar berhasil lulus pada tahun 1927 dengan mematahkan hipotesis Noguchi, Ahli Bakteriologi Jepang, tentang leptospira sebagai penyebab penyakit kuning.

Meskipun Mochtar dan rekannya bukan orang Indonesia pertama yang berhasil menempuh tingkat doktoral di Belanda, namun mereka adalah orang-orang yang pertama kali tetap memilih untuk berkiprah sebagai dokter ilmuwan setelah kembali ke tanah air.

Kendati demikian, karir keilmuwannya tidak berjalan mulus.

Dia ditangkap dan dieksekusi pada tahun 1945 oleh Kempeitai, militer Jepang, saat menjabat sebagai Direktur Lembaga EIjkman, Lembaga Penelitian Biologi di Jakarta yang berdiri sejak zaman Belanda.

Mochtar dihakimi atas tuduhan pencemaran vaksin TCD dengan toksin tetanus yang menewaskan 900 orang Romusha di Klender, meskipun kebenaran atas tuduhannya masih belum bisa dipastikan.

Nama serta jasa-jasnya pun seketika redup karena tragedi tersebut.

Hingga pada tahun 2020, Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun monumen Prof. Dr. Achmad Mochtar yang dilengkapi dengan penerbitan buku biografi berjudul Tumbal Vaksin Maut Jepang, untuk mengenang tokoh nasional asli Sumatera Barat. Buku tersebut ditulis oleh Hasril Chaniago, Aswil Nazir dan Januarisdi yang pada awalnya tidak diperjual belikan.

Selain membahas mengenai kampung halaman dan perjalanan pendidikan Mochtar, penulis buku Tumbal Vaksin Maut Jepang juga berusaha untuk mematahkan tuduhan Kempeitai atas Mochtar beserta penjelasan logisnya.

Di kesempatan yang sama, dua dari tiga penulis yang turut hadir dalam acara, Hasril Chaniago dan Aswil Nazir menceritakan kesulitan mereka dalam mengumpulkan informasi guna pembuatan buku ini.

Namun, berkat bantuan banyak pihak termasuk Prof. Sangkot yang juga pernah menerbitkan buku serupa dan memiliki ketertarikan terhadap Mochtar, buku Tumbal Vaksin Maut Jepang berhasil terbit dengan edisi kedua yang bisa dikonsumsi publik.

“Kalau tidak ada Prof. Sangkot, buku ini tidak akan jadi seperti ini,” ujar Chaniago.

Sumber : kompas.com

(AP)

   Send article as PDF