Luncurkan 5G, Tidak Sekadar Punya 2300 MHz

UPAYA Telkomsel menancapkan bendera pertama pada 27 Mei 2021, sebagai penyelenggara layanan generasi kelima (5G) sangat patut diacungi jempol walau dengan kelengkapan yang belum maksimal. Tidak ada satu pun operator telko Tanah Air yang bisa menyamainya. Indosat sekalipun, meski anggota Grup Ooredoo Qatar itu sudah sempat mengumumkan rencana untuk menjadi operator 5G pertama. Indosat sendiri baru mengajukan permohonan mendapat SKLO (Surat Keterangan Laik Operasi) 5G pada 3 atau 4 Juni lalu. Juga Smartfren, yang sama-sama memiliki spektrum 2300 MHz seperti Telkomsel. Bisa dimaklumi Telkomsel belum maksimal, karena baru bisa menggunakan rentang 30 MHz di spektrum 2300 MHz miliknya, karena yang 20 MHz hasil menang lelang secara adminsitratif belum dikuasainya.

Pemilikan spektrum selebar 50 MHz belumlah optimal untuk membuka layanan 5G, sehingga target 100X kecepatan 4G LTE, up to 10 Gbps sulit tercapai. Kita pun bisa maklum kalau capaian dari uji coba di beberapa tempat “hanya” 600 Mbps dan nyaris 800 Mbps. Juga latensi (waktu yang dibutuhkan dari asal sampai tujuan) belum sampai satu milidetik, tapi sudah jauh dari lima milidetik seperti dicapai 4G.

Untuk menjalankan layanan 5G, teoretis operator harus punya 100 MHz di milimeterband, gelombang pendek antara 2,3 GHz sampai 26 GHz dan 28 GHz, yang konon akan dibuka pemerintah bersamaan dengan pelepasan spektrum 700 Mhz ex-TV analog. Sementara spektrum 2,3 Ghz tidak begitu disukai karena ekosistemnya, yang antara lain berupa radio dan gadgetnya, tidak banyak diproduksi vendor teknologi. Industri lebih menyukai spektrum 26 MHz dan 28 GHz, sampai 35 GHz dan seterusnya untuk membuka layanan 5G, karena frekuensi yang tersedia sekitaran 1.000 MHz per spektrum, sehingga jika pun ada 10 operator yang meminta, masing-masing 100 MHz masih bisa. “Untung” kita hanya punya enam operator: Telkomsel, Indosat, Xl Axiata, Hutchison 3, Smartfren dan Net-1 (Sampurna Telecom). Dari enam operator itu, paling banyak spektrumnya adalah Telkomsel dengan 155 MHz, lalu Indosat Ooredoo dengan 95 MHz, XL Axiata 90 MHz, Smartfren 62 MHz, 3 selebar 50 MHz dan Net-1 selebar 15 MHz. Yang paling sulit berinovasi adalah Net-1 yang menggunakan frekuensi tidak umum, 450 MHz.

Benar Telkomsel punya frekuensi di atas 100 MHz, namun mereka harus pikir panjang untuk memanfaatkan 100 MHz di antaranya hanya sekadar memberi layanan 5G secara optimal. Hal yang pertama, tiap spektrumnya – 900 MHz, 1800 MHz dan 2300 MHz – sudah dipadati oleh 168 juta pelanggannya dengan 30 persen lebih pelanggan 2G, yang meski tiap pelanggan hanya menyetor “recehan”, tapi kali 50 jutaan. Kemudian yang kedua, untuk urusan 5G, uji coba di lapangan tidak memungkinkan diterapkannya rekayasa CA (carrier aggregation – menggabungkan dua atau lebih spektrum) untuk mendapat output kecepatan lebih tinggi. CA di teknologi 4G LTE bisa memuntahkan kecepatan sampai 150 Mbps, bahkan dilaporkan 300 Mbps, tetapi men-CA-kan teknologi 5G, hasilnya yang keluar adalah semprotan 4G LTE juga. Demikian juga, untuk mengejar kapasitas setara 5G, belum mungkin menggunakan rekayasa MIMO (multiple in-multiple out) dengan menggandakan antena-antena.

Namun diyakini, ketika pemerintah sudah mengeluarkan izin penggunaan spektrum milimeterband di 26 GHz dan 28 GHz dan seterusnya, upaya mengomersialkan 5G bisa lancar. Tetapi, 5G masih memberi syarat lain. Di spektrum milimeterband, karena cakupannya sempit, investasi operator akan tinggi karena otomatis jarak antar-BTS jadinya rapat. Apalagi jika diperlukan untuk transportasi mobil (autonomous vehicle) yang tidak boleh ada longgarnya pancaran sinyal si operator, agar mobil itu tidak melenceng yang justru dapat membahayakan masyarakat. Karena investasinya tinggi, harga data 5G – diperkirakan – 10 kali lebih mahal dibanding 4G LTE, sehingga dipertanyakan apakah pasar ritel akan bisa dirambah operator 5G. Dari beberapa uji coba, penggunaan layanan 5G paling cocok adalah untuk industri, perkebunan, pertanian, perkantoran, rumah sakit dan sebagainya.

Ada sedikit keperluan untuk rumah tangga 5G, kebanyakan rumah tangga para sultan, dengan menggunakan robot-robot, yang bisa dilaksanakan kalau gaji asisten rumah tangga (ART) sudah lebih mahal dari saat ini. Sepanjang gaji ART murah seperti sekarang, hanya sultan yang alergi terhadap ART yang akan menggunakan jasa 5G.

Fiberisasi dan bengekan

Di industri, pabrik-pabrik dan sebagainya, layanan 5G sangat ditunggu, karena bisa menyelesaikan banyak masalah. Misalnya tidak akan ada karyawan yang minta cuti hamil, tidak akan ada tambahan tunjangan keluarga karena pegawainya lumayan produktif di rumah, atau tidak usah ngurusi pegawainya yang bengekan. Sedih dan bahagianya, 5G bahkan akan lebih dahsyat dibanding pandemi yang membuat maraknya PHK, tetapi juga memunculkan banyak usaha rumah tangga. Teknologi 5G juga memunculkan IoT (internet of things) yang bisa memberi solusi bagi pekebun, peternak, petani dengan pengawasan dan otomatisasi kegiatan. Misalnya melakukan penyiraman tanaman, memberi catu ternak dengan pakan yang terukur waktu dan besarannya, tanpa repot mengurusi keluhan dan hak karyawan. Hanya saja, spektrum yang digunakan bukannya milimeterband namun gelombang panjang semisal 700 MHz dan 900 MHz, juga bahkan 450 MHz. Kelebihan spektrum ini bertolak belakang dengan milimeterband, sebab jarak antar-BTS bisa jauh karena radius jangkauan BTS-nya bisa sampai lima kilometer-an.

Hal lain yang bisa jadi prasyarat untuk operasional 5G adalah pemilikan serat optik (fibre optic) yang kapasitasnya nyaris tidak terbatas.   Fiber optik ini yang harus menjangkau semua BTS yang dioperasikan, sehingga kemampuan prima 5G bisa tersalurkan. Dari semua operator, lagi-lagi Kelompok Telkom yang memiliki jaringan fiber optik terpanjang, sampai 100.000 kilometer, sementara Moratel baru 30.000 Km, yang itu pun sudah membahagiakan Smartfren ketika berhasil membeli 20 persen lebih saham Moratel. Namun pemilikan fiber sepanjang itu belum optimal kalau “urat-urat” fiber belum masuk semua pelosok, menyambung semua BTS si operator.

Dalam kaitan ini, XL Axiata pun menjual hampir semua menara BTS-nya, lalu menyewanya kembali, karena BTS nantinya tidak terlalu optimal tanpa semua tersambung ke serat optik. Dan, mereka sedang melakukan fiberisasi, menyambungkan serat optik ke semua BTS-nya.

Editor : Amir Sodikin
Sumber : Kompas.com

(ACP)

   Send article as PDF   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *