Makna “Mecaru” Dalam Budaya Bali

Denpasar, (NS7) – Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Upacara Butha Yadnya itu disebut caru karena disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari godaan-godaan bhuta kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan Hyang Tri Murti untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaangodaan para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana disebutkan dalam mitologi caru ini.

Dan dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) sebagai upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari sebagai bagian dari upacara Butha Yadnya, Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana. Yakni agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Widhi (Parahyangan), hubungan antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan)dan hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan).

Tujuan Mecaru

Upacara Mecaru ini berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga keharmonisan alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam). Sementara makna upacara mecaru sendiri adalah kewajiban manusia merawat alam yang diumpamakan badan raga Tuhan dalam perwujudan alam semesta beserta isinya. Serta untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang widhi Wasa agar senantiasa kehidupan kita sebagai umat manusia cipaanNya mendapatkan kehidupan yang baik dan sejahtera secara sekala dan niskala.

Lain daripada itu, segala ketidakharmonisan yang terjadi di alam semesta ini juga disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri, seperti halnya memelihara bumi yang tiada semestinya dan juga pengingkaran akan ajaran agama, dharma, dan kesucian. Hal iu yang menyebabkan suatu keadaan buruk di jagat raya ini. Semuanya itu patut diberikan Caru agar mendapatkan keharmonisan kembali serta mendapatkan kerahayuan dengan terbatasnya dari segala bentuk kekotoran (leteh) dan kembali dikasihi oleh tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang widhi Wasa.

Banten Caru yang golongannya lebih kecil disebut dengan Segehan, dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Panca Maha Bhuta. Disebutkan juga bahwa, manusia sebagai ciptan-Nya merupakan perwujudan Panca Maha Bhuta dalam bentuk kecil atau mikrokosmos, sedankan alam yang lebih besar makrokosmos adalah alam semesta ini.

Alam semesta ini terbagi menjadi beberapa lapisan menurut keagamaan, yang paling sering dan paling diketahui bersama adalah adanya alam Bhur, Bwah, Swah. Alam Bhur adalah tempat manusia disamping pula oleh segala gumatat-gumitit, para bhutakala, dedemit dan makhluk lainnya. Alam Bwah adalah alam para arwah. Sedangkan alam Swah adalah adalah alamnya para Dewa. Sedangkan Panca Maha Bhuta di dalam diri manusia terdiri dari tiga lapis yakni Stula Sarira (badan kasar), Suksma Sarira (badan halus), dan Antahkarana Sarira (atman) dan ketiganya disebut sebagai Tri Sarira.

Sarana Upakara dalam Pecaruan

Sarana yang dimaksud dalam uraian ini adalah sarana atau perlengkapan dan atau bagian dari Caru tersebut. Hal ini dapat berupa nasi, tumbuhan, binatang, dan unsur alam lainnya. Hal ini disesuaikan dengan jenis daripada caru tersebut. Caru dalam arti sempit dan sederhana sarananya dapat berupa nasi dengan berbagai bentuknya seperti, nasi kepelan, nasi cacahan, tumpeng yang dilengkapi dengan lauk pauk, bawang jahe, garam, demikian juga dengan Caru yang tergolong lebih besar dapat disertai dengan daging jeroan olahan dan bahkan kepala dari suatu bunatang yang dipakai korban yang kesemuanya berbau amis dan serta dibarengi dengan minuman yang beralkohol seperi tuak.arak berem disamping juga air tentunya. Bilamana sarananya berupa tumbuhan dapat dilihat dari digunakannya salah satunya adalah daun kelapa yang berupa Sengkui yang dibuat sedemikian rupa dan disesuaikan dengan urip dari suatu arah mata angin.

Menurut Lontar Sudamala, bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis:

  1. Mataya; bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, bijibijian, umbi-umbian, arak berem, tuak.
  2. Mantiga; hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
  3. Maharya; hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing.

Penempatan warna bulu hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.

Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa Tattwa) seperti warna-warna bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider:

  1. Sweta (putih),
  2. Dumbra (merah muda),
  3. Rakta (merah),
  4. Rajata (oranye),
  5. Pita (kuning),
  6. Syama (hijau),
  7. Kresna (hitam),
  8. Biru (abu-abu),
  9. dan sarwa suwarna (campuran)

Warna-warna itu selain sebagai identitas para dewa yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia:

  1. Putih: suci;
  2. Merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan;
  3. Merah : marah;
  4. Oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi;
  5. Kuning: nafsu;
  6. Hijau: serakah;
  7. Hitam: iri-hati;
  8. Abu-abu: iri-hati yang terselubung.

Dengan demikian sifat-sifat buruk asubha karma manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad (sifat kedewataan) (ACP/ESS)

   Send article as PDF