Mantan Gurandil Pongkor Hijrah Jadi Petani Sayur: Hidup Lebih Nyaman

Mantan Penambang Emas Tanpa Izin (PETI) atau yang dikenal sebagai gurandil di area Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor kini sudah banyak yang beralih profesi menjadi pelaku wisata, peternak, bahkan petani. Kenyamanan hidup menjadi alasan utama mereka memilih pekerjaan tersebut.
Sepertinya halnya pengakuan Uding, yang kini jadi Ketua Kelompok Tani Maju di Kampung Gunung Dahu, Desa Bantar Karet, Bogor. Pada tahun 1994, Uding merupakan seorang penambang emas ilegal di Gunung Pongkor, kemudian ia memilih bertani sayur pada 2015 setelah adanya penertiban.

Menurutnya, dibanding menjadi penambang emas ilegal, bertani memiliki nilai hidup yang mulia. Pasalnya, bertani membuat lingkungan menjadi jauh lebih subur, berbeda 360 derajat dengan aktivitas penambangan ilegal yang malah merusak lingkungan.

“Makanya saya sangat bersyukur setelah ada penertiban (pada 2015), kami bisa menghentikan aktivitas tersebut. Karena PETI ini membahayakan bagi kami dan juga desa,” ujarnya kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Uding menilai selama kurang lebih 20 tahun menjadi penambang illegal tidak banyak manfaat yang dirasakan. Sebab, pekerjaan illegal tersebut bukanlah budaya asli daripada pekerjaan warga Kampung Gunung Dahu terdahulu.

“Dulu nenek moyang kami itu selalu tani, dan hidupnya selalu berkah, bahkan sebelum merdeka seperti ini, nenek moyang kami petani, bukan penambang. Maka alhamdulillah kami sangat bersyukur, bisa meneruskan menjadi petani kembali, jadi hidup kami lebih nyaman,” jelasnya.

“Karena kalau petani ini kerjanya hanya pagi sampai siang aja, malam nya bisa di rumah, jadi lebih dekat dengan keluarga, terus kerjanya tergantung kita. Beda kalau gurandil kan itu nggak kenal waktu,” imbuhnya.

Diketahui, usai hijrah dari penambangan ilegal, Uding saat ini menggarap lahan pertanian seluas 21.000 meter di Kampung Gunung Dahu yang dibantu oleh sekitar 15 orang warga. Lahan tersebut milik peternak yang juga eks penambang ilegal untuk digarap oleh masyarakat sekitar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.

“Sebagian lahan ini ada 6.000 meter, ini pertaniannya, kacang panjang, buncis, timun, terong, kangkung, padi juga ada (tergantung musim) dan lainnya, ini sebagian saja. Sisanya ada di atas di lahan 15 ribu meter rencananya itu untuk lengkio (daun kucai),” ungkapnya.

Dia menilai bertani sayuran tersebut dipilih sebab masa panennya lebih cepat kurang dari dua bulan. Selain itu, sayuran-sayuran tersebut paling efektif untuk dipasarkan tak hanya di pusat perbelanjaan seperti pasar terdekat, tapi juga di lingkungan warga sekitar.

“Jadi paling gampang dijualnya, dulu saya nanam kangkung di sini, tidak perlu dijual ke pasar, hanya masyarakat di sini saja,” tuturnya.

Adapun jika di rata-rata, Kelompok Tani Maju ini bisa menghasilkan 1 ton untuk setiap sayuran yang ditanam. Jika harga pasar kacang panjang Rp 4 ribu per kg, ia bisa mendapat sekitar Rp 4 juta dari pertanian tersebut.

Sebagai informasi, dalam pengembangan pertanian di Kampung Gunung Dahu ini, Uding bersama Kelompok Tani Maju turut dibantu oleh Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Antam Pongkor. Antam melakukan pelatihan kepada para petani di sekitar Gunung Dahu untuk melakukan pertanian terpadu sehingga bisa memaksimalkan hasil pertanian yang ada.

Para petani diajak untuk memanfaatkan pengolahan pupuk kompos dari peternakan ayam yang ada di sekitar lokasi Gunung Dahu (Milik Haji Ochang) untuk dapat digunakan di lahan pertanian yang dimiliki. Selain itu, Antam melatih para petani usia produktif dalam melakukan pertanian terpadu agar masyarakat sekitar Gunung Dahu tidak tertarik melakukan praktik PETI dan berfokus pada potensi pertanian yang ada.(AGP/GS)

Source : https://news.detik.com/

   Send article as PDF