(NS7) – Rangkaian Usaba Sambah di Desa Tenganan Pegeringsingan, Karangasem, Bali, telah dimulai. Beberapa upacara dan tradisi sudah digelar. Diantaranya tradisi ayunan jantra yang dilakukan usai gered pandan yang merupakan acara puncak Usaba Sambah di Tenganan Pegringsingan.
Klian 1 Tenganan Pegeringsingan, I Putu Madri Atmaja, mengatakan, tradisi ayunan jantra digelar sore hari setelah gered pandan. Jumlahya 4 unit, dan dipasang di beberapa titik. Ayunan yang terbuat dari kayu cempaka terdiri dari delapan tempat duduk. Masing-masing dua di bagian atas, bawah, depan dan belakang. “Kayu untuk ayunan jantra dari pohon cempaka yang disucikan dengan ngayunan lokan. Sarananya berupa damar sentir sekitar 30 menit. Setelah diupacarai baru bisa digunakan untuk daha (perempuan belum menikah),” ungkap Madri Atmaja.
Tradisi ayunan jantra melibatkan daha & teruna (laki yang belum menikah). Teruna tugasnya memutar ayunan sebanyak enam kali. Tiga kali diputar ke arah utara, serta tiga kali ke selatan. Sedangkan para daha bertugas menaiki ayunan. Daha & teruna diharuskan memakai kain kas geringsing.
“Kain geringsing adalah pakaian kas Tenganan Pegringsingan. Harus dipakai saat menggelar upacara sakral di Tenganan Pegringsingan. Kain ini merupakan simbol kas Desa Tenganan Pegringsingan. Kain ini sebagai penolak bala,” imbuh Madri.
Ditambahkan, tradisi ayunan jantra bermakna sebagai poros kehidupan umat manusia. Kehidupan terus berputar seperti ayunan. Kadang kehidupan ada di atas, di bawah, di depan, serta di belakang, tergantung waktu.
Oleh karena itu, manusia diminta untuk tidak sombong saat berada di atas. “Ayunan ini mengingatkan kita pada proses kehidupan. Sehingga manusia bisa mengintrospeksi atau mengevaluasi diri saat di atas dan di bawah. Minimal manusia tidak sombong saat berada di atas atau di depan. Kehidupan manusia tidak bisa ditebak,” harap Madri Atmaja, pria asli Tenganan.
Tradisi ini juga mengajarkan kepada umat manusia untuk tetap bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Dimanapun kehidupan kita hrus disyukuri. Tak boleh mengeluh saat di bawah serta di belakang. Begitu juga orang yang berada di atas atau di depan tidak boleh sombong apalagi menghina.
Untuk diketahui, ayunan jantra ini merupakan alat serta tradisi sakral bagi warga Tenganan Pegringsingan. Kebiasaan ini adalah warisan lelehur sebelumnya. Usia kayu hampir mencapai puluhan tahun. Kayunya diambil dari pohon cempaka di sekeliling Bukit di Desa Tenganan Pegringsingan. (*)