(NS7) – Dalam lontar Sundarigama yang merupakan lontar yang digunakan sebagai tuntunan dalam melaksanakan upacara yadnya di Bali dikatakan:
Wuku Sinta, Soma Pon, ngaran Soma Ribek, mangereti ring Sang Hyang Tri Murti ungguan ring lumbung, paryangan, widi-widane, nyanyah geringsing.
Berdasarkan terjemahan Lontar Sundarigama yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Kabupaten Tabanan tahun 1976, disebutkan:
Coma Pon Sinta disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Sri Amrta, tempat bersemayamannya adalah di Lumbung.
Pada hari ini diadakan widhi widhana untuk selamatan atau penghormatan terhadap beras di pulu dan padi di lumbung yang sekaligus mengadakan pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai tanda bersyukur serta semoga tetap memberi kesuburan.
Adapun sarana upakaranya yaitu nyahnyah geti-geti, raka pisang mas, disertai dengan bunga serba harum.
Lebih lanjut dalam lontar tersebut dikatakan: ikang wang tan wenang anumbuk pari, angadol beras, katemah dening Bhatara Sri. Pakenania wenang ngastuti Sang Hyang Tri Pramana. Angisep sari tatwa adnyana, aje aturu ring rahinane.
Artinya pada saat Soma Ribek, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi, demikian juga menjual beras, karena jika dilanggar, maka akan dikutuk oleh Bhatari Sri.
Selain itu pada hari ini juga tidak diperkenankan untuk tidur siang hari.
Hal ini dikarenakan Sang Hyang Pramesti Guru tengah melakukan yoga di siang hari, sehingga umat Hindu harus menghormati-Nya.
Oleh karena itu, pada hari ini seseorang diharapkan untuk melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Tri Pramana, serta mempelajari atau memetik sari tatwa adnyana atau inti sari dari ajaran kebenaran.
(YD)
Sumber : https://bali.tribunnews.com/