Otonan di Bali, Berikut Tata Cara Prosesi Otonan yang Baik dan Benar

(NS7) – Masyarakat Hindu Bali, mengenal yang namanya otonan sesuai dengan wewaran hari kelahiran masing-masing orang. Namun bagaimana tata cara ngotonin yang baik dan benar.

Berikut ulasan yang dijelaskan oleh Jero Mangku Ketut Maliarsa.

Untuk bebantenan atau sarana upakara, tidaklah sulit atau rumit. Sebab yadnya di Bali sifatnya fleksibel.

Walau ada yang menggunakan banten seperti tumpeng lima atau tumpeng tiga, namun jika tidak bisa tidak perlu dipaksakan. Cukup dengan canang sari dan niat yang tulus saja bisa.

Namun jika ingin lebih lengkap, berikut penjelasan banten dengan tumpang lima dan tumpeng tiga.

Apabila menggunakan tumpang lima, sarananya adalah pengambean, dapetan, peras, pejati, sasayut, dan segehan.

Dilengkapi dengan sarana lain, yaitu bija, dupa, toya anyar, tirta panglukatan, dan tirta Hyang Guru. Untuk tahapannya, sebelum memulai menghaturkan banten. Ibu dari yang meotonan yang melakukannya.

“Sang ibu ngayab banten ini kehadapan Sang Hyang Atma,” ujarnya kepada Tribun Bali.

Sebagai pertanda bahwa ini adalah hari lahir Sang Hyang Atma menjelma menjadi manusia di bumi.

Setelah itu, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan di bawah bale atau tempat sang anak meoton.

Gunanya, memohon kepada Sang Hyang Bhuta Kala, agar semua prosesi berjalan lancar dan sang anak terbebas dari marabahaya.

Kemudian ritual otonan dapat dimulai. Pertama-tama, dilakukan prosesi mesapuh-sapuh. Yakni mengusap telapak tangan kanan anak dengan Buu. “Nah ini dimulai dengan tangan kanan, lalu ke tangan kiri,” ucapnya.

Tatkala melakukan ini, biasanya dibarengi dengan sesontengan. ‘Ne cening jani mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip’.

Artinya agar segala kekotoran di tangan sang anak hilang.

Dan tangannya bersih, sehingga memegang kehidupan dengan tangan bersih. Lalu dilanjutkan dengan mengusapkan toya anyar tadi.

“Mesapuh-sapuh ini tujuannya adalah menghilangkan mala atau leteh pada badan kasar yang bersangkutan (anak meoton),” kata pemangku asli Bon Dalem ini.

Setelah itu, dilanjutkan dengan matepung tawar. Yang diusapkan di kedua tangan yang meoton dengan juga berisi daun dapdap.

Pada proses ini pun, ada sesontengan yang diucapkan oleh sang ibu. Yaitu, ‘jani cening masegau, suba leh liman ceninge. Melah-melah ngembel rahayu’.

Artinya tangan yang sudah bersih, diharapkan memegang segala kerahayuan dengan baik. Setelah itu, sang ibu menyipratkan tirta panglukatan. Ini bermakna menyucikan dan menetralisir kembali Sang Hyang Atma.

Dengan harapan jiwa yang bersangkutan, senantiasa tetap suci, baik, dan dalam genggaman keselamatan sekala niskala. Prosesi selanjutnya adalah matetebus.

Sang ibu akan mengambil dua helai benang berwarna putih. Helai pertama diletakkan di kepala yang meoton.

Dan ada pula yang di telinga. Selanjutnya benang yang agak panjang, dililitkan layaknya gelang ke pergelangan tangan si anak. Di sini pula ada sesontengannya.

Bunyinya ‘Jani cening magelang benang, apang cening mauwat kawat matulang besi’.

Artinya dengan gelang itu, diharapkan anaknya bisa memiliki tubuh yang sehat kayaknya memiliki otot kawat dan tulang besi.

Usai prosesi itu, si anak diberikan tirta Hyang Guru. Hal ini memiliki makna, agar yang bersangkutan memperoleh kesehatan dan kesempatan lahir batin. Kemudian selalu mendapat perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasiNya. Barulah ngayab sesayut, dengan memutar searah jarum jam.

Bunyi sesontengannya ‘ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu bencah’.

Hal itu, sebagai pangenteg Bayu agar sang anak tetap pendiriannya serta memiliki kepribadian stabil.

Di dalam menjalani kehidupan di dunia.

“Kalau dilihat filosofinya, upacara otonan ini adalah pembersihan raga kasar dari segala Mala,” katanya. Hal ini khususnya ketika masesapuh.

Kemudian setelah badan kasar bersih, jiwa disucikan dengan prosesi matepung tawar atau masegau.

Sehingga Sang Hyang Atma yang bersih kembali terhubung dengan badan kasar yang juga bersih. Melalui sarana benang tebus itu. Diakhiri dengan menstabilkan pikiran agar jiwa raga stabil dan bersih dalam menjalani kehidupan.

(YD)

Sumber : bali.tribunnews.com

   Send article as PDF