Pendidikan Eksklusif Standar Menteri

(NS7) – Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan yang dijalankan di Indonesia. Yang namanya standar pendidikan tentu harusnya disusun dan disepakati bersama para pihak yang berkepentingan agar terlaksana dengan baik. Dalam konteks ini, maka perlu perumusan yang terarah dan jelas mengenai rujukan yang digunakan dalam menentukan delapan standar pendidikan, yakni menyangkut standar kompetensi lulusan, standar isi atau kurikulum, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, dan standar penilaian.

Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya dilaksanakan suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan, yang bersifat mandiri, pada tingkat nasional dan juga provinsi. Selama ini tugasnya dijalankan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Disampaikan para ahli bahwa dalam penyusunan RUU Sisdiknas, kata mandiri pada penjelasan Pasal 35 ayat (3) tentang BSNP adalah agar lembaga ini dapat mewakili seluruh pemangku kepentingan pendidikan, yakni Pemerintah, Tenaga Pendidik, Peserta Didik, dan Masyarakat. Dengan kemandiriannya, maka tidak akan ada dominasi intervensi baik dari Pemerintah atau pihak lain yang berkepentingan.

BSNP Dibubarkan

Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 28 Tahun 2021 yang dikeluarkan 23 Agustus 2021, maka BSNP per 31 September 2021 dibubarkan. Kini tugas BSNP dijalankan Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Lalu di mana kemandirian yang diamanatkan UU Sisdiknas jika standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan menjadi dominasi pemerintah?

Akan sangat mungkin dalam perjalanannya, standar pendidikan itu berubah-ubah sesuai pejabat yang berwenang pada masanya. Pemerintah juga dapat membuat kebijakan sepihak yang tidak melibatkan pemangku kepentingan lain. Bukan tidak mungkin akan lahir standar-standar baru yang lahir dari satu menteri ke menteri yang lain; estafet pembangunan pendidikan yang selalu terputus dan hanya disandarkan pada kepentingan, pemikiran menteri yang menjabat.

Yang akan dikorbankan dalam kondisi ini adalah anak. Tidak ada kerangka pembangunan manusia yang kontinu, dan standar kualitas manusianya pun akhirnya akan berbeda dari masa ke masa. Dari situ kita akan melihat, satu perjalanan membangun sumber manusia yang terus berputar tidak melangkah maju satu langka ke langkah lain.

 

Menyoal penghapusan BSNP, menurut hierarki perundang-undangan tentu keliru, ketika isi Permendikbud mengensampingkan isi Undang-Undang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, namun dalam menafsirkan isi UU Sisdiknas Kemendikbudristek punya pandangan lain, yang menyebut bahwa amanat kemandirian bukan pada badan standarisasi pendidikan melainkan pada badan akreditasi nasional. Penafsiran yang sepihak dan seolah hanya untuk pembenaran. Langkah yang diambil Kemendikbudristek kali ini blunder.

Kebijakan Sepihak

Praktik kebijakan sepihak bukan hal baru yang ditemukan dalam kepemimpinan Nadiem Makarim sejak menjadi Menteri. Dalam membangun pendidikan Nadiem sangat percaya tim internalnya dibandingkan melibatkan para pihak yang berkepentingan. Bukan hanya mengesampingkan fakta sejarah tentang peran masyarakat yang bersama-sama membangun pendidikan, bahkan yang telah berkiprah memajukan pendidikan sebelum Indonesia merdeka.

Nadiem seperti sangat percaya diri, berjalan dalam pemikirannya, dan selalu menyebut dirinya akan membawa pendidikan lebih maju, walau itu belum terbukti. Sebut saja soal Peta Jalan Pendidikan, cita-cita besar membangun pendidikan Indonesia yang ternyata baru sebatas paparan presentasi di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Peta jalan itu nyaris tidak melibatkan elemen pendidikan, hingga tidak aneh jika menuai kritik dan sedikit demi sedikit muncul ralat.

Yang teranyar adalah tentang kurikulum eksklusif yang hanya berlaku bagi Sekolah Penggerak. Ada 2.500 sekolah dari 111 kabupaten-kota di 34 provinsi yang terlibat program ini. Secara diam-diam, tanpa ada kajian mendalam yang melibatkan semua pihak, kurikulum eksklusif itu diberlakukan. Hadirnya kurikulum eksklusif tentu mengingkari semangat pendidikan yang inklusif. Sebuah kemunduran paradigma dalam pembangunan pendidikan.

Kelas Pendidikan

Disadari bahwa Indonesia yang luas dengan beragam kondisi sosial ekonomi masyarakatnya dan geografisnya, membuat pelayanan pendidikan hingga kini belum merata. Praktik layanan pendidikan masih berkelas-kelas, tidak hanya membandingkan sekolah di kota dan di desa atau di pedalaman, tapi juga kini lahir sekolah-sekolah premium, yang menjanjikan sejuta fasilitas. Sementara si miskin harus menerima kenyataan, mengenyam pendidikan dengan layanan seadanya.

Walau komitmen pemerintah tidak diragukan, dengan alokasi anggaran 20 persen dari APBN untuk membangun pendidikan, namun dalam praktiknya kebijakan pendidikan dijalankan tidak untuk semua. Lagi-lagi, kelas pendidikan itu nyata. Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 juga menunjukkan sikap diskriminatif Menteri Nadiem. Permendikbud tentang petunjuk teknis pengelolaan dana BOS reguler, yang mengatur batas minimal siswa bagi sekolah untuk mendapatkan BOS bertentangan dengan konstitusi.

UUD 1945, dalam Pasal 31 dikatakan jelas bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pembatasan penerima BOS hanya bagi mereka yang memiliki siswa lebih dari 60 hanya mematikan sekolah kecil, sekolah yang sebetulnya menjadi denyut jantung pendidikan pada masyarakat tingkat bawah.

Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara melakukan pemerataan kesempatan dalam proses pendidikan dan pengajaran, tidak hanya bagi kelompok tertentu saja. Jika selama ini kita kenal konsep pendidikan inklusif sebagai hak asasi, yakni pendidikan bagi semua, bagi peserta didik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus, . maka yang dimaksud dengan pendidikan eksklusif adalah pendidikan yang diskriminatif, yang ada hanya bagi kelompok tertentu saja.

Tidak hanya dalam praktik lapangan tapi juga dalam tataran kebijakan. Tidak berlebihan jika dalam sekolah penggerak, guru penggerak, dalam pengelolaan BOS yang sudah disampaikan terdahulu, kenal dengan eksklusivitas. Praktik pembuatan kebijakan yang menjadikan pendidikan tidak untuk semua harus dihentikan. Namun jika ini yang terus terjadi, maka tidak berlebihan jika pembangunan pendidikan yang sedang dijalankan adalah pendidikan eksklusif, dengan standar sesuai selera menteri yang menjabat.

(AR)

Sumber : detikNews.com

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF