Raja Udayana

Denpasar, (NS7) – Raja Udayana (atau Dharma Udayana Warmadewa; Sri Dharmodayana Warmadewa Udayana) adalah seorang penguasa di masa kejayaan Bali Dwipa yang memerintah sekitar tahun 983 – 1011 M.

Dengan pusat pemerintahannya di Bedahulu, dahulu Beliau bersama permaisurinya diceritakan;

  • Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat ditata kembali yang bertujuan :
    • Untuk dapat memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat,
    • Perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan kembali.
  • Sistem pemerintahan dan perekonomian ditata kembali dimana :
    • Atas dasar kesepakatan bersama untuk dapat memberikan rasa nyaman pada seluruh rakyatnya yang dalam Babad Usana Bali Pulina disebutkan :
      • Beliau memerintah didampingi oleh seorang Mpu yang agung bernama Mpu Kuturan ;
      • Dan berkat jasanya di Pulau Bali ada kahyangan tiga sampai sekarang ini.
    • Dalam sistem perekonomian Bali Kuno pun, pada awalnya juga perdagangan dilakukan secara barter, yakni tukar-menukar barang (mepurup-purup);
      • Namun system jual-beli menggunakan uang kartal, menarik perhatian Raja Udayana.
      • System ini pun dinilai baik karena praktis, melancarkan perdagangan, dan memudahkan Raja memungut pajak.

Kembali dalam menengok rekam sejarah leluhur, dahulu Raja Udayana juga diceritakan mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa) dari Kerajaan Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata. Dan ketika di Bali bergelar Gunapriya Dharmapatni yang melahirkan dua orang putra yaitu :

  • Airlangga, menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara)
  • dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya.

Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca Tirta.

 Dan para keturunan dari Panca Tirta ini kemudian menjadi penduduk Bali berikutnya seperti Warga Pasek Sanak Pitu, Ksatrya Dalem, Warga Brahmana, dan para mantri-mantri dengan sebutan I Gusti.

Pada jaman pemerintahan Raja suami istri Udayana – Warmadewa di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga dapat memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan tersebut karena dahulu disebutkan :

 Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga. 

Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu.

 Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri.
Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. 

Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat dan banyak hal dilakukan di Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3 faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di Gianyar).

  • Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu : Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat Pelinggih Kemulan Rong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti.
  • Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha.

Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman.

Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu .

  • Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata).
    • Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha.
      • Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah.
      • Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali.
      • Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa.
    • Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali.

Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Demikianlah kisah dari Raja Udayana yang mampu memberikan rasa adil dan aman bagi rakyatnya sehingga negara menjadi sejahtera dan mengalami masa kejayaan.

Sumber : sejarahbabadbali.blogspot.com
(GC)

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF