Sabda (Suara), Aksara dan Pemujaan dalam Tutur Aji Saraswati (Bagian-1)

(NS7) – Tutur adalah teks yang berisi ajaran dan nasihat. Tutūr Aji Śaraśwatī berisi tentang ajaran kesehatan jasmani, rohani, dan kehidupan setelah mati (kamokṣan). Pembahasan dimulai dengan penjabaran makna simbolik dalam jenis (swalalita, wrĕśastra, modre) berserta fungsi aksara Bali. Hal ini dijelaskan pada awal kalimat pembuka naskah “wnang hingangge de sang wruhring sahalwaning akṣara wāya, prajñan ring tatwa carita tĕkaring wikrama’“.

Lontar ini ditulis oleh Ida Bagus Made Jlantik dari Griya Kacicang, Amlapura, Karangasĕm. Lontar ini selesai ditulis pada tahun śaka 1922.

Meskipun judul teksnya adalah Tutūr Aji Śaraśwatī, ia tidak secara eksplisit membahas tentang hal-hal yang menyangkut dewi Saraswati. Sebaliknya ia menjelaskan filosofi suara (sabda) dan huruf (aksara) sebagai sumber dari semua eksistensi di alam semesta ini. Saraswati di sini dipahami dalam arti yang lebih dalam, bahwa ia memberikan pengetahuan tentang suara dan huruf dari mana bahasa dikembangkan. Tanpa bahasa, tidak ada pengetahuan yang akan dikembangkan dan manusia akan berada dalam kegelapan.

Segala eksistensi secara esenssial adalah suara (sabda). Sabda mempunyai status ontologis sebagai asal dan tempat segalanya kembali. Hal ini nampak jelas jika mengamati bentuk Ongkara dimana unsur yang paling tinggi adalah Nada (suara kosmik).  Begitu juga penekanan lebih banyak kepada penglukunan dan pengringkesan Dasaksara sebagai jalan pembebasan. Pemahaman atas konsep Rwa Bhineda, misalnya, antara bhuwana agung dan bhuwana alit menjadi sangat penting. Di dalam upaya mengusahakan kesucian, digunakan mantra-mantra beserta sarana-sarana lainnya seperti air.

Saraswati di dalam teks Tutūr Aji Śaraśwatī menarik dipelajari apalagi menjelang hari suci piodalan Sang Hyang Aji Saraswati pada Saniscara Kliwon Watugunung setiap 6 bulan sekali menurut perhitungan Kalender Bali. Pendalaman-pendalaman makna simbolis Saraswati senantiasa diperlukan di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Acuan-acuan mengenai Saraswati bisa ditemukan di dalam kitab Catur Weda Samhita, Purana, dan Itihasa berbahasa Sanskerta.

Selain lontar koleksi Perpustakaan Gedong Kirtya, ada satu lagi yang berasal dari alm. Ida Pêdanda Putu Kêmênuh dari Sêmbung, Mêngwi, Badung sebagai pemiliknya. Teks tersebut diterima pada 16 Agustus 1929 (sebagaimana disebutkan dalam katalog lontar). Sementara Perpustakaan Dinas Kebudayaan, Pemerintah Daerah Bali juga memiliki sejumlah teks Tutūr Aji Śaraśwatī :

  1. Tutur Aji Sarasvati berasal dari Gêrya Pêkarangan dari desa Budakeling, Karangasêm di Bali Timur, (panjang: 30 cm, lebar: 3,5 cm, dan jumlah teks: 39);
  2. Tutur Aji Sarasvati berasal dari Gêrya Kêcicang dari Karangasem di Bali Timur, (panjang: 30 cm, lebar: 3,5 cm., dan jumlah lempir: 41); dan
  3. Tutur Aji Sarasvati berasal dari desa Tampuagan, Karangasêm, Bali Timur, (panjang: 30 cm, lebar: 3,5 cm., dan jumlah lempir: 29); nomor / kode: 31/4 / T / Dikbud

Selain lontar Bali, variannya juga ditemukan dalam tradisi Mêrbabu-Mêrapi di Jawa Tengah, yang sekarang merupakan koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dengan kode PNRI 11 L. 254. Ini adalah satu-satunya teks Aji Sarasvati yang ditulis menggunakan aksara Buddha (Jawa Kuno) yang terdiri dari 33 lempir (kepingan lontar) dari kedua wajah.

 

Apa sesungguhnya isi teks Tutur Aji Saraswati?

Secara umum teks ini membahasa pengetahuan spiritual (adhyatmikajnana) dan suara (sabda) dan huruf (aksara) dalam kaitannya dengan pembebasan (moksa). Memang agak susah mengerti kalau memang teks ini mengajarkan pengetahuan yang bersifat dasar sebelum melanjutkan kepada tingkatan yang lebih tinggi,  yaitu yoga sastra di dalam bentuk pengringkesan Dasaksara. Ada aspek metafiska, etika, dan ritual di sini bahkan panduan melaksanakan upaya-upaya penyucian dan penyatuan. Dalam konteks praktek ini diperlukan tuntunan dari guru spiritual untuk keberhasilan dan menghindari kesalahan atau kegagalan.

Sejak awal teks ini membahas penerapannya dalam bhuwana alit (mikrokosmos—tubuh manusia) dan bhuwana agung (makrokosmos—alam semesta). Ketika menjabarkan swara/aksara, teks ini berbicara tentang paralelisme antara dua domain keberadaan, misalnya bhuwana alit-bhuwana agung, dalam setiap jenjang dan keadaan. Konsep-konsep abstrak seperti suara (sabda) akan menjadi sarana untuk melakukan transformasi diri. Setiap suara suci (sabda) dan huruf suci (aksara) diyakini memiliki kekuatan keilahian dan tempat tersendiri dalam tubuh manusia dan di dunia.

Bhuwana agung dan bhuwana alit dianggap identik karena keduanya secara esensial memiliki sifat dan zat yang sama, yang disebut Pañca Maha Bhuta – lima substansi: padat, yaitu bumi/tanah (prthiwi), air/cairan (apah), panas/api (teja), angin (wayu), dan ether/ruang (akasa) yang besesuaian dengan Panca tan Matra. Menurut Saiwaisme (dan juga filsafat Sangkhya), mereka pada dasarnya merupakan transformasi dari prinsip-prinsip halus yang memiliki penyebab material utama dalam Sadasiwa Tattwa dan Prakrti Pradhana (dalam Sangkhya). Mereka berdua membentuk “binary opposition”, yang ada di semua bidang keberadaan; mereka selalu hadir walaupun hakikatnya saling berbeda dan bertolak belakang (Rwa Bhinneda).

Perbedaan itu tidak hanya ada pada aspek-aspek duniawi atau material, di tingkat aksara atau swara pun muncul. Adanya Ongkara Rwa Bhinneda, yaitu Ongkara Sumungsang dan Ongkara Ngadeg memperlihatkan perbedaan tersebut selalu hadir. Kedua jenis Ongkara digunakan di dalam proses kehidupan dan pembebasan. Walaupun demikian keberbedaan ini bisa dipahami secara lebih baik dalam bingkai penciptaan (utphati), pemeliharaan (sthiti) dan penghancuran (pralina). Keberbedan itu hanya pada tataran fenomenal, namun pada tataran trans-impirik menjadi hanya ada absolutisme. Ini yang diyakini menjadi substratum segala keberadaan di dunia ini.

Memiliki pemahaman yang baik tentang konsep ini, seseorang dapat mengatur kehidupan dengan cara yang lebih maju karena dalam kehidupan keduanya selalu hadir dan terkonfigurasi di setiap tingkatan. Masing-masing memiliki sifat yang kontradiktif, yaitu Purusa kesadaran dan spiritualitas (cetana), sedangkan Prakrti / Pradhаna ketidaksadaran dan material (acetana).

Purusa adalah Siwa Tattwa, sementara Prakrti adalah Maya Tattwa. Dengan mengacu pada filsafat bahasa, mereka diwakili oleh dua Bijaksara mistik, yaitu Ang dan Ah yang sangat penting di dalam kehidupan dan kematian. Walaupun keberadaan Rwa Bhinneda ini selalu ada, pada akhirnya pencari kebenaran sejati harus bisa mempertemukan atau bahkan menisbikan Rwa Bhinneda sehingga bisa bersatu dengan Satu Kekuatan Tertinggi yang disebut dengan Parama Siwa Tattwa. (Bersambung)

Sumber: Blogger Bali
(GP/NS7)

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF