Sang Hyang Sampat, Tradisi Magis di Desa Pakraman Puluk Puluk

(Nusantara7.id) – Sistem Subak di Bali tidak bisa terlepas dari adat, budaya dan tradisi masyarakat Bali. Sehingga apapun kegiatan yang dilakukan di Subak pasti akan diawali dengan berbagai prosesi atau ritual keagamaan yang sudah menjadi tradisi atau kepercayaan turun temurun. Seperti halnya yang dilakukan krama Subak Puakan di Desa Pekraman Puluk puluk, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Tabanan. Seperti apa tradisinya?

Krama Subak Puakan menggelar ritual Ngusaba Ageng di Pura Bedugul atau Pura Subak setiap satu tahun sekali tepatnya dilaksanakan sebelum para petani melakukan panen. Namun sebelum Ngusaba Ageng dilaksanakan, krama terlebih dahulu akan menggelar upacara Nangkluk Merana agar tanaman padi petani tidak diserang hama dan segala kegiatan di sawah senantiasa diberikan perlindungan. Berbeda dari daerah lainnya, Nangkluk Merana yang dilakukan krama dilakukan dengan nedunang Sang Hyang Sampat yang sudah menjadi tradisi turun temurun.

Sang Hyang Sampat sendiri menurut para tetua di Desa Pekraman Puluk Puluk muncul sejak jaman pra Hindu dimana secara mitologi dikaitkan dengan pertempuran yang dilakukan Raja Ki Ngurah Panji Sakti yang merupakan Raja Buleleng sehingga Raja Ki Ngurah Panji Sakti ingin memperluaskan kekuasaan ke Tabanan. Sampailah Raja Ki Ngurah Panji Sakti di daerah Pura Batukaru dan melakukan pengerusakan di Pura Batukaru yang mengakibatkan seorang patih yang ditugaskan memelihara Pura Batukaru wafat.

Wafatnya Patih Gusti Kesunaran akhirnya menimbulkan wabah penyakit di wilayah Batukaru dan sekitarnya, tidak hanya penyakit bagi masyarakat namun juga dialami oleh hewan dan tumbuhan termasuk tanaman di sawah. Atas peristiwa tersebut, dengan petunjuk niskala maka dibuatlah Sang Hyang Sampat di Desa Pekraman Puluk Puluk yang saat itu merupakan lumbung pangan Kerajaan Wangaya. Sehingga hingga saat ini Sang Hyang Sampat dipercaya bertujuan untuk Nangkluk Merana atau melindungi tanaman padi para petani dari serangan hama dan penyakit, dan untuk memohon agar segala kegiatan di subak lancar.

Pekaseh Subak Puakan, I Wayan Sukayadnya menjelaskan prosesi Sang Hyang Sampat kali ini digelar dua hari berturut turut dengan upacara yang di pusatkan di Pura Bale Agung Desa Pekraman Puluk Puluk. Terdapat dua Sang Hyang Sampat yang memang Melinggih di Pura Bale Agung Desa Pekraman Puluk Puluk yang terdiri dari Sang Hyang Sampat Lanang (laki-laki) dan Sang Hyang Sampat Istri (perempuan). “Jadi saat padi sudah Meikut Lasan maka krama subak akan menyampaikan kepada Adat untuk bisa nedunin Sang Hyang Sampat untuk Nangkluk Merana sebelum Ngusaba Ageng di Pura Subak yang akan kami gelar hari Rabu tanggal 13 Juni 2018 mendatang,” paparnya Senin (11/6).

Lidi dari Sang Hyang Sampat pun bukan lidi sembarangan melainkan lidi Ron dan lidi Nyuh Gading, dengan jumlah lidi Sang Hyang Sampat Lanang dan Istri berbeda-beda. Jumlah lidi Sang Hyang Sampat Lanang adalah 108 dimana angka 1 berarti Tuhan adalah satu, angka 0 artinya Tuhan tidak berawal dan tidak berakhir, dan jumlah dari angkat 1 ditambah 0 ditambah 8 adalah 9 yang merupakan arah penjuru dunia. Begitu juga jumlah lidi Sang Hyang Sampat istri sebanyak 118 yang dijumlahkan menjadi angka 9 yang artinya arah penjuru dunia.

“Secara sekala sampat atau sapu sendiri memiliki fungsi untuk membersihkan, jadi Sang Hyang Sampat secara niskala roh widyadara yang masuk ke dalam Sang Hyang Sampat yang kemudian membersihkan dan memberkahi areal Subak dari segala hal negative,” ungkapnya.

Sang Hyang Sampat kemudian dihias dengan bunga jepun, gemitir, sandat dan cempaka lengkap dengan lonceng, kemudian nantinya akan mengelilingi Subak yang ada di kawasan Desa Pekraman Puluk Puluk yakni Subak Puakan yang terdiri atas lima tempek yaitu tempek Munduk, tempek Puakan 1, tempek Puakan 2, tempek Umalaka, dan tempek Mengesta. “Sang Hyang Sampat Lanang dihias dengan kain berwarna poleng dan kuning, sedangkan Sang Hyang Sampat Istri dihias dengan kain berwarna putih dan kuning. Sepanjang perjalanan lonceng pada Sang Hyang Sampat akan terus berbunyi,” sambungnya.

Kesakralan semakin terasa ketika laju dari kedua Sang Hyang Sampat semakin cepat bahkan suatu ketika bisa berlari, dan tidak bisa diprediksi. Bahkan tidak bisa dikendalikan oleh juru sunggi atau orang yang membawa tapakan Sang Hyang Sampat. Meskipun pikiran mereka terkendali, namun tubuh, tangan dan kaki mereka tidak bisa mereka kendalikan dan akan melaju kemanapun Sang Hyang Sampat yang sudah dalam keadaan Nadi menghendaki. Tidak ketinggalan para pengiring yang dengan suka cita mengikuti kemana pun laju Sang Hyang Sampat meskipun harus menyusuri pematang sawah yang sempit, menyebrangi sungai, baik cuaca panas ataupun hujan. Mulai dari anak-anak hingga orang tua.

“Jadi sebelum itu, krama berkumpul di Pura Bale Agung dan melakukan persembahyangan berupa bia kaon, maka Ida Sang Hyang Sampat akan tedun dan dibawa atau diabih oleh dua orang warga atau juru sunggi yang dinilai suci. Setelah prosesi nedunin selesai dengan dipimpin para para pemangku diseluruh Pura yang ada di Desa Pekraman Puluk puluk maka Sang Hyang Sampat akan melaju keluar Pura dan menuju arah mana pun yang dikehendaki dan juga diiringi warga yang membawa Pasepan,” lanjutnya.

Sebelum roh widyadara merasuki Sang Hyang Sampat, sejumlah warga pun menyanyikan Tembang Sang Hyang Sampat untuk mengundang para widyadara turun ke Bumi. Adapun petikan tembang Sang Hyang Sampat adalah sebagai berikut :

“Dong dauhin semitone uli taman sari, metangi ayu metangi, juru kidungi sampun rauh. Pang enggal enggal nadi, ring sunia takon karman, I ya karmaning jajar, gumara gana, gumara sidi, Ya tumurune menga mengo, wenten ganjar nadi Sang Hyang..”

Dan sebelum mengeliling areal persawahan, Sang Hyang Sampat terlebih dahulu akan menuju Pura Bedugul atau Ulun Suwi atau Subak setempat dan mebaos atau menyampaikan sejumlah hal, seperti misalnya kali ini Ida mebaos jika Pekaseh dan Jero Mangku setempat harus nunas tirta ke Batukaru sebelum Ngusaba digelar.  Selain itu jika dalam perjalanan mengelilingi sawah terdapat suatu hal yang kotor maka Sang Hyang Sampat tidak akan berhenti, seperti misalnya ada baju atau pakaian yang dijemur di areal persawahan dan sebagainya. Sebelumnya, di masing-masing sawah masyarakat juga dihaturkan Sesajen. “Ketika mengelilingi sawah untuk memberkati tanaman pada petani, Sang Hyang Sampat Lanang dan Istri biasanya akan berpisah sampai akhirnya nanti bertemu kembali di Pura Bale Agung,” lanjutnya.

Uniknya lagi, Sang Hyang Sampat selalu tahu mana daerah Subak yang belum sempat diberkati pada hari sebelumnya sehingga selama tiga hari prosesi Sang Hyang Sampat berlangsung seluruh kawasan Subak Puakan seluas mencapai 86 Hektare bisa dikeliling seluruhnya. Sekali tedun, Sang Hyang Sampat bisa mengelilingi Subak 2 hingga 3 jam. “Tanpa diarahkan Sang Hyang Sampat akan menuju kawasan Subak yang belum diberkati, sehingga dalam waktu dua hari ini seluruh Subak Puakan sudah akan diberkati, dan biasanya pada hari terakhir Sang Hyang Sampat akan langsung menuju Beji untuk pembersihan sebelum Nyineb,” imbuhnya.

Saat Sang Hyang Sampat hendak di-sineb atau dilinggihkan kembali di Pura Bale Agung, maka juga ada tembang yang mengiringi dengan lirik sebagai berikut :

“Simping simping jemak lebang, tangane kuning, ngerejang ya cara jawa, Metu saking Suralaya, Suralaya inga gatra ngelungang pakir, Lengkek elengkok lengkung..”.  (AGP/ADI)

Baru! Tayangan Video dari Bali Digital Channel

klik: https://s.id/BaliDigitalChannel

#BaliDigitalChannel #Nusantara7

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF