(NS7) – Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel merupakan nama lain dari Mpu Jiwaksara. Tahun 1335M, Mpu Jiwaksara diangkat menjadi salah satu senopati oleh Raja Bali yang bergelar Shri Aji Tapohulung turunan Dalem Masula – Masuli. Semenjak itu, beliau dikenal dengan sebutan Patih Ulung.
Setelah keruntuhan kerajaan Bali, pada Tahun 1343M diangkat menjadi Adipati Bali dibawah pemerintahan Kerajaan Majapahit. Adapun Gelar beliau “Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel“.
Setelah beberapa saat menjabat sebagai Adipati di Gelgel, bersama sanak saudaranya kembali ke Majapahit menghadap Ratu Tribuwana Tunggadewi agar Adipati baru di Bali dalam Waktu dekat. Permohonan tersebut diajukan karena sejatinya Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel adalah seorang Brahmana dengan abhiseka Mpu Jiwaksara, seorang Mpu (Brahmana) yang sudah cukup lama meninggalkan sasana ke Brahmanaanya.
Menanggapi permohonan tersebut, maka Mahapatih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada melaporkan hal tersebut kepada Ratu Tribuwana Tungga Dewi. Ratu Tribuwana Tungga Dewi memaklumi permohonan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan memerintahkan kepada Mahapatih Gajah Mada untuk mengusahakan seorang Adipati yang bersedia ditempatkan di bumi Bangsul (Bali).
Purnamaning sasih kapat tahun Çaka 1272 (1350M) Raja Hayam Wuruk naik tahta Majapahit mengantikan Tribuwana Tungga Dewi. Oleh Raja Hayam Wuruk secara terpusat di Majapahit dilantik pula 5 orang adhipati yaitu:
- Sri Juru untuk Belambangan,
- Sri Bhima Çakti untuk Pesuruan,
- Arya Kuda Panolin alias Kuda Pengasih untuk Madura,
- Sri Kepakisan (seorang perempuan) untuk Sumbawa,
- Sri Kresna Kepakisan untuk Bali. Sri Kresna Kepakisan adalah putra bungsu dari Sri Soma Kepakisan.
Dengan diangkatnya Sri Kresna Kepakisan maka pucuk kepemimpinan di Bali maka berakhirlah masa jabatan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai pemimpin di Bali. Adapun Patih Amangku Bumi diberikan kepada Arya Kepakisan/ Krian Nyuh Aya yang ikut mengiringi Sri Krsna Kepakisan dari Jawa Timur (daerah Kepakisan).
Adhipati Sri Kresna Kepakisan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Samprangan. Pemerintahan beliau menganut sistem kepemerintahan di Majapahit serta beliau kurang memahami apresiasi rakyat Bali. keberadaan tempat suci orang Bali Aga tidak dapat perhatian dan diabaikan. Sikap inilah yang sangat menyinggung perasaan orang Bali Aga, pemerintahan beliau dijauhi. Lama kelamaan rasa tersinggung ini meningkat menjadi rasa anti pati, yang puncaknya orang Bali Aga tidak mau mengakui pemerintahan Adhipati Samprangan. Mereka lalu kembali melakukan pemeberontakan dengan mengangkat senjata.
Pemberontakan ini diawali dari Desa Tampurhyang Batur sebagai pusat pemerintahan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh Kyayi Kayuselem, kemudian diikuti oleh desa Batur, Terunyan, Abang, Buahan, Kedisan, Cempaga, Pinggan, Peladu, Kintamani, Serai, Manikliyu, Bonyoh, Sukawana, Alas Gunung Sari, Taro dan Bayad. Kemudian pemeberontakan ini mendapat simpati dari desa-desa timur bali yaitu, Culik, Tista, Basangalas, Got, Margatiga, Sekulkuning, Garinten, Lokasrana, Puhan Bulkan, Sinanten, Tulamben, Batudawa, Muntig, Juntal, Carutcut, Bantas, Kuthabayem, Watuwayang, Kedampal, dan Hasti, serta desa-desa lainnya sehingga jumlahnya adalah tidak kurang dari 39 desa.
Adhipati Samprangan mencoba memadamkan pemberontakan ini, namun gagal. Hal ini membuat Adhipati Sampragan putus asa, dan mengirim Ki Patih Ulung melaporkan keadaan ini ke Majapahit. Oleh Majapahit, Adhipati Samprangan diberikan anugrah lontar kepemimpinan, baju zirah, keris pusaka dan sepucuk surat. Sesampai di Kerajaan Samprangan, Ki Patih Ulung menghaturkan hadiah dari Raja Majapahit tersebut ke Adhipati Samprangan.
Adhipati Samprangan sangat senang menerima anugrah yang diberikan oleh Raja Majapahit dan sepucuk surat yang diberikan oleh Maha Patih Gajah Mada. Beliau segera mengadakan rapat dihadiri para mantri dan pejabat lainnya. Dalam rapat itu hadir juga Ki Patih Ulung sebagai pimpinan Utusan Adipati Samprangan, juga hadir Kiyayi Gusti Agung Padang Subadra, Arya Pacekan/Pemacekan, Arya Kepasekan dan Kyai Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa. Dalam rapat tersebut adhipati Samprangan membaca isi surat, kemudian mengangkat Ki Patih Ulung sebagai Patih Amangku Bumi dengan mengembalikan Gelar Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel. Sejak saat itu Ki patih Ulung kembali menyandang Gelar Kiyai Gusti Agung Pasek Gelgel dan menghapuskan embel-embel Patih Ulung-nya.
Setelah rapat selesai maka diutuslah Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel beserta Kyai Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, untuk pergi ke Tampurhyang guna melakukan pembicaraan perdamaian dengan orang-orang yang masih setia terhadap raja Sri Tapohulung.
Ketika utusan tersebut sampai disana, pada saat itu sedang diadakan rapat yang dihadiri utusan dari desa Tenganan Pegringsingan, Seraya, Kutha bayem, Sidatapa, Jimbarana gunung, Padawa, Sukawana, Alas Gunung Sari, Taro, dan lainnya, tampak juga di dalam rapat tersebut tokoh-tokoh Bali Aga diantaranya Ki Taruhulu, Ki Kayu selem, Ki Wreska, Ki Tarunyan, Ki Badengan, Ki Kayutangi, Ki Celagi gentong, Ki Tarum, Ki Panarajon, Ki Kayuputih, Ki Pasek Sukalwih, dan lainnya.
Ketika sedang asyiknya mereka berdialog, datanglah Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel bersama Kyai Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa. Mereka diterima dengan baik oleh peserta rapat terutama Kyai Kayuselem, karena mereka sudah mengenal betul Kyai Gusti Agung pasek Gelgel selaku dimasa Sri Tapohulung/ Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Di pesamuan itu Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel menjelaskan tujuannya ke pada peserta rapat, dan peserta rapat setuju dan tidak akan memperpanjang persoalan tersebut. Hal ini diterima oleh orang-orang Bali Aga menganggap Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel adalah pemimpin mereka yang disah dan disegani.
Kyai Kayu selem mengajukan syarat kepada Adipati Samprangan melalui Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel yaitu untuk tidak mengabaikan tempat pemujan rakyat Bali terutama Kayangan Tiga, Sad Khayangan, terutama Pura Besakih. Setelah masalah tersebut disetujui , Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel mengutus salah seorang untuk melaporkan bahwa orang-orang Bali Aga telah menghentikan pemberontakan, dan telah membebaskan I Dewa Madenan dan yang lainnya (yang ditawan saat hendak menumpas pemberontakan bali aga), sedangakan Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel, Kyai Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa beserta rombongannya tetap tinggal di Tampurhyang Batur, guna mengawal perdamaian tersebut, peristiwa itu terjadi pada tahun Çaka 1274 (tahun 1352 M).
Untuk mempererat persaudaraan Bali Age dengan Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel, maka Ki Taru hulu (pemimpin Bali Age) menikahkan Putrinya yang berbama Luh Madri dengan Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel. Dari Pernikahan tersebut menurunkan 2 orang Putra yang diberi nama sama yaitu Pasek Gelgel.
Pada tahun Caka 1277 (1355 M) Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel kembali ke Samprangan kemudian ke Gelgel, istri bersama kedua putranya ditinggal di Tampurhyang Batur. Sedangkan I Gusti Pangeran Tohjiwa kembali ke Desa Kejiwan. Ketika itu turut pula beberapa orang pimpinan orang-orang Bali Aga, diantaranya Kyai Kayuselem, Ki Pasek Bali dan lainnya. Sesampai di Samprangan mereka diterima dengan baik oleh Adhipati Sri Kresna Kepakisan. Setelah itu mereka menyampaikan telah menghentikan pemberontakan yang dilakukan dan memohon untuk tidak mengabaikan tempat pemujaan orang-orang Bali, dan adhipati berjanji tidak akan mengabaikan tempat-tempat pemujaan dan akan merubah segala kekeliruan yang telah beliau lakukan.
Tidak lama Dalem Sri Kresna Kepakisan menikmati aman damainya pemerintahan dengan dibantu oleh Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel yang mengendalikan Orang-orang Bali Aga dari Gelgel, kembali terjadi intrik politik dalam pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan. Intrik politik yang dilancarkan oleh para Arya Majapahit keturunan Kediri yang tidak puas akan kedudukannya dan menginginkan patih Amangkubumi diserahkan penuh kepadanya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dan mengingat rakyat Bali yang baru mulai bangkit dan mulai percaya dengan kepemimpinan Dalem Sri Krsna Kepakisan, maka Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel mengundurkan diri dari patih Amangkubumi dan memilih menetap di desa Mas. Kedudukannya sebagai pemimpin para Pasek di Gelgel diserahkan kepada anaknya yang bernama Kyai Gusti Smaranatha bergelar Kyai Gusti Pasek Gelgel II. Patih Amangkubumi Dalem Sri Krsna Kepakisan kembali di jabat oleh Arya Kepakisan (Krian Nyuh Aya) keturunan Kediri. oleh karena jasa-jasa yang sudah diperbuat dimasa jabatannya, oleh Dalem Sri Kreshna Kepakisan mengangkat Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel menjadi Mekel (Bendesa) Desa Otonom di Desa Mas, dihadiahi ratusan panjak pengiring dan dibekali pusaka. Dalem Samprangan juga menyertainya dengan Wejangan/Bhisama dari Dalem Krsna Kepakisan yaitu : “Kekayaan, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik Bendesa Mas tidak boleh diambil atau dijarah/dikuasi untuk kerajaan”.
Pada tahun 1358 M, Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel beserta keluarganya pergi meninggalkan Gelgel menuju Bali tengah dan menetap di Desa Mas. Sedangkan anak tertuanya yang bernama Kyai Gusti Smaranata tetap di Gelgel mengantikan kedudukan ayahandanya sebagai pemimpin para Pasek dari Gelgel.
Di Desa Mas Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel menjadi Bendesa dengan Gelar Kyai Gusti Bendesa Mas dan memimpin Desa Mas secara turun temurun. Di Desa Mas, beliau memiliki putra yang diberi nama Kyai Gusti Pangeran Manik Mas yang kemudian melanjutkan memerintah di desa Mas.
Babad Pasek
Generasi 1 | : Mpu Gni Jaya |
Generasi 2 | : Mpu Witadharma |
Generasi 3 | : Mpu Wiradharma |
Generasi 4 | : Mpu Lempita & Ni Ayu Subadra |
Generasi 5 | : Mpu Dwijaksara |
Generasi 6 | : Kyai Gusti Agung Pasek Gelgel (Ki Patih Ulung – Mpu Jiwaksara) |
Generasi 7 | : I Pasek Gelgel (Tampurhyang), Kyai Gusti Smaranatha (gelgel), Kyai Gusti Pangeran Manik Mas (Mas), |