Sejarah Perjalanan Panjang Penyatuan Sekte-Sekte yang Ada di Bali

(NS7) – Ajaran Sanatana Dharma terlalu luas bahkan sangat mustahil dipahami semuanya. bagaikan Samudra tanpa Tepi. itulah sebabnya Manusia Hindu diberikan kebebasan untuk memilih jalan spiritual sesuai dg Karakter. talentanya apakah dengan jnana / Pengetahuan, Bhakti, karya yoga dan sebagainya yang termuat dalam ajaran Catur Marga.

Pemilihan jalan spiritual yang diyakini dan disenangi inilah yang akhirnya melahirkan aliran atau sekte sekte di dalam Hindu yang masing-masing punya Kitab sebagai panduan. Guru Nabe, Pesraman,  Ista Dewata yang dipuja secara khusus dan sebagainya. Karena kecendrungan sifat alamiah manusia yang sulit terlepas dari ego yang selalu ingin merasa sekte yg dianut adalah paling benar, paling baik dan paling hebat akhirnya apa yang terjadi ? bukannya menjadi landasan etika dan moralitas untuk memperbaiki diri, malah dijadikan ajang persaingan adu gengsi dan adu presitise antar sekte. Ujungnya terjadi polemik dan pertikaian serta permusuhan antar sekte yang sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat sekalipun mereka sudah belajar spirirual secara intens, artinya semua ini bukan jaminan.

Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Wardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senopati, sehingga dikenal sebagai Senopati Kuturan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai, lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan, keributan, kericuhan terjadi di masyarakat memperdebatkan Dewa-Nya. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali.

Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Bhagawanta sekaligus Senopati kerajaan. Ida Mpu Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bata anyar (Pura Samuan Tiga).

Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai berikut :

1. Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.

2. Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.

3. Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga (sanggah Kemulan) sebagai tempat memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru.

Konsensus (kesepakatan) tersebut merupakan wujud dari sinkretisme/Penyatuan sekte-sekte yang ada pada saat itu. Wilayah Bali kemudian kembali menjadi tentram. Masing-masing sekte saling menjaga toleransi antara satu dengan lainya, ini berkat keberhasilan Mpu Kuturan sebagai pimpinan (manggala) dalam pertemuan tersebut yang menghasilkan keputusan yang mampu menyatukan & mengakomodir semua sekte. salah satu yang hingga dikenal hingga saat ini adalah pemujaan Dewata Nawa Sanga.

TRI SADAKA dalam hal ini adalah WARNA BRAHMANA siwa-budha-waisnawa, bukan pedanda dari soroh/wangsa/keturunan pemuja siwa, budha ataupun waisnawa, melainkan setiap orang yang menjadi sulinggih (ma-dwijati) adalah seorang sadaka.

Sekte-sekte diatas mengalami penyatuan atau sinkritisme antara yang satu dengan yang lain. Proses penyatuanya adalah sebagai berikut
Penyatuan pertama terlihat pada prasasti Canggal tahun 732 di Jawa Tengah dimana Brahma-Wisnu-Siwa dipuja dalam kesatuan vertikal dengan mensimbolkan Dewa Siwa sebagai Dewa yang Tertinggi

Penyatuan kedua terlihat pada prasasti Klurak tahun 762 M di Jawa Tengah antara agama Hindu (baca : Tri Murti) dengan agama Buddha Mahayana. Penyatuan Siwa-Buddha ini makin kuat di Jawa Timur mulai Zaman pemerintahan raja sendok dan berlanjut sampai zaman Singosari dan zaman Majapahit serta ke Bali.

Penyatuan ketiga terjadi secara intensif di Bali dimulai dari periode Mpu Kuturan di Bali tahun l039 M, dengan tahapan sebagai berikut :

1. Sekte-sekte agama Siwa (Linggayat, Ganapatha, Pasupatha dan Siwa-Sidhanta) luluh dan menyatu ke dalam Siwa-Sidhanta.
2. Sekte-sekte yang lain (selain Buddha) luluh menjadi satu yaitu : Tri Murti yang terdiri dari : Brahma-Wisnu-Siwa (Iswara) dalam suatu kesatuan vertikal.
3. Konsepsi Tri Murti di Bali luluh dengan Konsepsi Tripurusa yang merupakan hakekat dari pada ajaran Siwa-Sidhanta dengan menonjolkan Paramasiwa sebagai Sang Hyang Widhi.
4. Konsepsi Tripurusa seperti tersebut pada butir c, luluh dengan Konsepsi Buddha Mahayana dengan menyamakan Panca Tathagatha dengan Panca Dewata dalam agama Hindu. Di dalam perluluhan Siwa-Budha ini, Siwaisme lebih dominan dari pada Buddhisme.

Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur sekte ada pada penggunaan :

1. Canang Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.

2. Gayah Urip,/Sate Wayang mempergunakan kepala seekor babi. Diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan pengideran Dewata Nawa Sanga.

3. Tirta dan Api (baik berupa dupa maupun dipa) hampir disetiap upacara menggunakannya. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu. Api lambang Dewa Brahma

4. Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu : Om Ganapati ya namah swaha, Om Ang brahma saraswati Dewaya Namah Swaha, Om Ung Wisnu Sri Dewi namah swaha, Om Mang Iswara Uma Dewa namah swaha, Om Om Rudra Durga Dewa namah swaha, Om Sri Guru Ya namah swaha.

5. Sate dan Lawar, merupakan implementasi dari ajaran bhairawa yang meresap di semua sisi upacara yadnya dibali. Satu Maha Karya Ida Mpu Kuturan yang harusnya setiap Orang Bali wajib ketahui dan memahaminya adalah Desa Pakraman, sistem masyarakat agraris, harmonis, sederhana dengan Kayangan Tiga sebagai Tempat Pemujaan kepada Hyang Widhi, ini adalah pelaksanaan dari Sistem tatanan masyarakat berdasarkan Warnasrama Dharma, dimana setiap individu bekerja dan berinteraksi berdasarkan Guna dan Karma bukan keturunan. Namun prinsip ini kemudian lama-kelamaan tergerus perkembangan system politik dan kekuasaan dan kini mulai dilupakan

Hakekat ajaran sekte-sekte itu semuanya menyatu menjadi satu konsepsi agama Hindu dan ditopang oleh nilai-nilai alam pikiran lokal di Bali yang hidup di masyarakat. Inilah gambaran kehidupan agama Hindu di Bali yang telah berlangsung harmonis secara turun-­temurun dalam tatanan masyarakat Hindu di Bali.

Berbeda halnya dengan di India dimana sekte-sekte itu berdiri sendiri dan sulit terjadinya penyatuan antara sekte yang satu dengan sekte yang lain, bahkan bertentangan antar sekte banyak sekali

Mari Belajar Weda secara benar dari Guru yg tepat dan benar serta bijaksana dengan pikiran yang terbuka dan hati yang tulus agar kita terhindar salah penafsiran dangkal dan kerdil yang pada akhirnya menjerumuskan kita kedalam jurang kehancuran bodoh dan fanatisme ajaran yang sempit dan dangkal.

penulis: Raymond Wijaya
(GP/NS7)

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF