Soekarni Kartodiwirjo, Tokoh Peristiwa Rengasdengklok dalam Kenangan Putrinya

(NS7) – Penculikan Sukarno – Hatta menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agfustus 1945, yang dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok tak bisa lepas dari para pemuda pergerakan antara lain Soekarni, Chareul Saleh dan Wikana.

Soekarni merupakan salah satu tokoh penting dalam persitiwa Rengasdengklok tersebut. Pria kelahiran Blitar, 14 Juli 1916 ini dikenal sebagai salah satu sahabat Sukarno, namun pernah pula dijebloskan orde lama ke penjara. Pada masa Orde Baru, Soekarni sempat diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Dan, pada November 2014 diberikan predikat Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.

Bagaimanakah sosok Soekarni Kartodiwirjo dalam kenangan anaknya? Berikut hasil wawancara Tempo.co dengan putri Soekarni, Dr Emalia Iragilati Sukarni-Lukman:

Emalia mengingat sosok ayahanda, Soekarni Kartodiwirjo sebagai sosok ayah yang baik serta mendidik anaknya untuk berpikir bebas. Soekarni selalu mengajarkan kepada anaknya untuk mencintai diri dan Tuhan Yang Maha Esa. Soekarni juga mengatakan kepada Emalia  saat ia berusia 17 tahun, untuk berbakti kepada bangsa dan negara Indonesia. Soekarni sangat suka berdiskusi dan membebaskan pikiran anaknya.

Soekarni dan Nursijar Machmoed dikaruniai 5 orang anak, yaitu Luhantara Ph. D, Kumalakanta, Parialuti Indarwati, Goos Murbantoro, dan Dr Emilia Iragilati M.Pd ahli pragmatik dan tindak tutur Inggris. Emalia merupakan bungsu. Kedua orang tua mereka mendidik dengan egaliter, membolehkan mereka bertanya dan berdiskusi asal tetap menjaga sopan santun. Namun karena Soekarni yang sibuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia saat itu, kelima anaknya lebih sering dididik oleh sang ibu.

Soekarni pernah mendapatkan penghargaan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Peking pada 1961 oleh Bung Karno, Bintang Mahaputera Adipradana (II) pada 1973 yang diberikan Soeharto, dan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional 2014-1945. Penghargaan tersebut baru didapatkan selama 69 tahun karena terdapat peristiwa beliau ditahan di Salemba pada 3 Juli 1965 hingga Januari 1966.

Emalia mengisahkkan, ayahnya diangkat Sukarno menjadi Duta Besar Tiongkok dan Mongolia pada 1964. Soekarni merupakan satu-satunya duta besar yang dipanggil langsung oleh Mao Zedong. Selain itu, ia juga berhasil membawa Presiden RRC dan Mongolia untuk berkunjung ke Indonesia bersama istrinya. Kunjungan tersebut merupakan kunjungan penting untuk membawa Presiden RRC ke Indonesia.

Dan, mengenai peristiwa Rengasdengklok, Emalia mengatakan bahwa ayahnya tidak pernah menceritakan mengenai kejadian itu secara langsung. “Beliau tidak pernah pamer dan jika anak-anaknya ingin tahu, harus mencari tahu sendiri,” kata Emalia. Ia tahu peristiwa tersebut bukan dari ayahnya sebagai pelaku sejarah, tapi dari buku tulisan dari Cornell University pada 1950.

Seokarni yang juga kerap disebut Bung Karni suka membaca buku pada saat senggang. Emalia juga mengatakan bahwa ayahnya tidak bisa olahraga, yang aktif olahraga adalah ibunya dan saat itu memiliki klub tenis . “Ibu saya juga pernah menggunakan jarik (kain) dan kebaya saat bermain tennis,” kata dia.

Bung Karni ini suka makan masakan istrinya, karena istrinya pintar masak makanan Minang. Emalia ingat, Bung Karni dan Tan Malaka yang tinggal di kamar depan, sama-sama orang Minang dan dapat menggunakan bahasa Belanda dengan lancar dan suka berbincang menggunakan bahasa Belanda sambil makan masakan khas padang. Bung Karni dan keluarganya apabila pulang ke Blitar dari Jakarta, selalu mampir ke warung makan di Jakarta, Karawang, Semarang, Jogja, dan Blitar.

Putri bungsu Soekarni ini selalu mengatakan pada webinarnya dengan Digliterasi, untuk generasi muda tidak ada alasan untuk tidak meminta pada Allah SWT, berbakti pada NKRI, dan produktif. Produktif tersebut dapat dibuktikan oleh Emalia yang yatim piatu pada usia 17 tahun dan sudah memiliki bekal dan ia yakin bahwa ia memiliki kelebihan. pesannya untuk generasi muda, “Saya berharap millenial harus bergerak dan jika membaca harus lengkap,” katanya.

Sumber : nasional.tempo.co 

(AP)

   Send article as PDF