(NS7) – Di Torosiaje, ide-ide menjadi relatif. Bagaimana niat baik diwujudkan? Bagaimana laut diperlakukan? dan bagaimana masa depan ditentukan? Di Torosiaje, di kampung yang dibangun diatas laut itu, kita menjadi gagap, bahwa nilai-nilai ternyata sering tak sama.
Torosiaje adalah kampung yang damai. Terletak di teluk tomini yang kaya ikan, Torosiaje menjadi bagian dari Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Torosiaje adalah salah satu dari beberapa perkampungan Suku Bajo yang tersebar di berbagai lautan di Indonesia.
Sebagaimana Orang-orang suku bajo lainnya, para penduduk kampung Torosiaje juga sangat mencintai lautan. Karena alasan itu pula mereka mebangun rumah dan kampung di atas laut, bukan di daratan atau di pantai. Bagi suku Bajo, rumah dan perahu pada hakikatnya sama, yaitu tempat tinggal dan tempat beraktifitas, dunia mereka sepenuhnya.
Saat ini kampung Torosiaje dihuni sekitar 1500 jiwa yang terdiri dari 300an kepala keluarga. Walaupun mayoritas, namun tidak semua penduduk kampung Torosiaje adalah suku Bajo. Berbagai suku lain seperti suku Jawa, Buton, Gorontalo dan lain-lain juga tinggal dan berbaur dengan warga Bajo, yang menjadi kesamaan adalah kecintaan mereka pada lautan.
Dari sekitar 300-an kepala keluarga yang tinggal di Torosiaje, ada 10 kepala keluarga yang memilih tinggal di perahu secara nomaden, melakukan semua aktifitas sehari-hari mulai memasak, tidur mencari ikan dan lain-lain semua dilakukan diatas perahu. Walaupun nomaden namun mereka masih tercatat sebagai warga kampung Torosiaje, dan mereka masih akan pulang di hari-hari besar kampung dan hari-hari penting nasional seperti pemilu. Namun kata “pulang” sebenarnya juga absurd, karena laut adalah rumah bagi mereka, jadi kemanapun mereka menjalankan perahu pada hakikatnya mereka sedang pulang.
Sekitar 10 kepala keluarga yang tinggal nomaden ini menariknya tidak tinggal di kapal berukuran besar, mereka benar-benar tinggal di perahu, bukan kapal. Ukuran perahu mereka terhitung kecil. Lebar perahu sekitar 1 meter, sementara panjang perahu sekitar 7 meter, dihuni oleh satu keluarga penuh. Tinggal di tempat sekecil itu menjadikan kehidupan mereka menjadi begitu filosofis: memakai seperlunya, makan seperlunya, bergerak seperlunya, namun hidup dengan sepenuhnya.
Warga Torosiaje adalah para pemeluk agama Islam, 100% warganya beragama Islam, pada hari jumat pun mereka bahkan tidak melaut. Hari jumat adalah hari untuk beribadah, bukan untuk mencari nafkah. Kalaupun ada yang terpaksa melaut hanya sekitar kampung saja, tidak sampai mencari ikan sampai jauh ketengah laut.
Walaupun beragama Islam, namun warga Torosiaje juga masih melestarikan berbagai adat budaya dan kepercayaan yang diturunkan dari leluhur. Jika warga Torosiaje pulang dari melaut, diujung kampung mereka akan melihat sebuah bendera putih berkibar-kibar tertiup angin. Nama bendera tersebut adalah Berna Bendera Bate, terletak tepat diujung kampung, bendera berwarna putih ini dipercaya sebagai penolak bala. Digantikan tiap kali bendera mulai pudar dan sobek.
Selain memiliki bendera penolak bala, warga Torosiaje juga mempunyai sebuah upacara adat besar, mereka menyebutnya Masoro. Upacara ini bertujuan untuk penolak bala dan pertahanan kampung dari gangguan dan penyakit yang disebabkan oleh makhluq halus.
Dalam keseharian, warga Bajo di Torosiaje menjunjung tinggi adat sopan santun. Untuk urusan ini saya sempat terkejut, di dalam budaya masyarakat yang hidup keras ditempa lautan ternyata warganya sangat sopan dan sangat santun. Jika seseorang lewat dan bertemu orang lain misalnya maka orang tersebut akan tersenyum menyapa dan membungkukkan badan. Di kota besar hal seperti ini hanya akan kita jumpai di kantor-kantor, ketika seorang karyawan BUMN berjalan dekat meja geng “Board of Director” nya yang sedang ngopi. Itupun kalau dia berani lewat.
Ide dan Nilai-nilai
Seringkali maksud baik ditempuh dengan jalan yang dikira baik, namun ternyata maksud baik juga bisa salah. Dalam kaca mata budaya daratan kehidupan yang normal adalah ketika hidup kita berbasis tanah. Membangun rumah diatas tanah, beraktifitas di atas tanah, dan bersosialisasi di atas tanah. Bahkan kita pun menyebut asal kita adalah tanah.
Berbekal frame dan pola pikir daratan inilah suatu ketika warga Torosiaje pernah dibuatkan program relokasi ke daratan. Mereka dibuatkan rumah-rumah di daratan, kampungnya pun secara bersama-sama dipindahkan dari laut ke darat.
Namun warga Torosiaje adalah warga maritim, suku bajo adalah suku pelaut murni. Mereka adalah manusia-manusia yang terbiasa bangun pagi-pagi dan langsung berinteraksi dengan kopi dan lautan. Setelah ikut program pindah ke daratan akhirnya Suku Bajo memutuskan kembali ke laut, rumah besar mereka.
Selain jiwanya memang jiwa bahari, sebenarnya ada beberapa kendala lain kenapa program tersebut akhirnya gagal, antara lain nyamuk sangat banyak dan ganas di tempat tinggal mereka yang baru, yang dikelilingi dengan semak-semak lebat, ditambah lagi air bersih susah didapat dan jaraknya jauh. Namun hal yang paling sulit diterima adalah tempat mereka menambatkan perahu jauh dari rumah, sehingga merasa tidak aman dan repot saat akan melaut.
Kuliner
Jika kita tinggal di perkampungan Torosiaje, menu nikmat yang kita santap tiap hari adalah ikan segar, yang baru diangkat dari lautan, yang baru mati satu kali. Ikan yang dikonsumsi sehari-hari biasanya adalah ikan ekor kuning, namun tidak terbatas pada jenis itu saja mengingat lautan mereka penuh dengan berbagai jenis ikan.
Ikan-ikan segar ini disajikan dengan di goreng atau di bakar, dengan sambal dabu-dabu dan tambahan sup bihun, rasanya sangat nikmat. Apalagi sambal dabu-dabu yang dibuat disana menggunakan minyak kelapa, sehingga terasa jauh lebih sedap dan gurih. Menu ini saking nikmatnya sampai terbayang-bayang setelah saya pulang kerumah, dan kemudian mencoba-coba resep sambal dabu-dabunya. Kuliner memang istimewa, karena dari semua aktifitas travelling yang bisa kita ulang sensasinya di rumah adalah kuliner.
(YD)
Sumber : kamadigital.com