Salah satu tradisi yang berhubungan dengan ritual agama Hindu adalah Megebeg-gebegan, ini adalah tradisi di Desa Pekraman Dharma Jati, Tukad Mungga, Buleleng. Yang mana pada saat tradisi tersebut digelar para Sekee Teruna (pemuda desa) akan memperebutkan kepala godel (kepala anak sapi) yang merupakan sarana dalam menggelar upacara persembahan (sesajian) saat prosesi atau ritual mecaru yang bertepatan saat hari Pengrupukan atau sehari sebelum Hari Raya Nyepi, jadi tradisi Megebeg-gebegan digelar setahun sekali.
Tradisi yang rutin digelar di catus pata agung (perempatan) Desa Pekraman Dharma Jati, Tukad Mungga, Buleleng. Dalam menggelar tradisi Megebeg-gebegan, beberapa jalanan yang melewati catus pata akan ditutup demi berjalannya tradisi dengan lancar. Penduduk Desa pun akan berbondong-bondong ke tempat digelarnya Tradisi Megebeg-gebegan. Tradisi ini diawali dengan menggelar upacara Bhuta Yadnya atau Tawur Kesanga di catus pata (perempatan) desa. Upacara Bhuta Yadnya ini berupa pecaruan tawur agung Kesanga (sehari sebelum Nyepi), tujuan dari menggelar upacara Bhuta yadnya tersebut untuk menyeimbangkan bhuana agung dan bhuana alit agar selalu tetap harmonis.
Pecaruan ini menggunakan godel (anak sapi) yang mana anak sapi tersebut dikuliti menyisakan kulit sapi, bagian kaki dan kepala godel sebagai sarana upacara yang dikenal sebagai “bayang-bayang” sedangkan berapa bagian daging anak sapi tersebut dibuat olahan untuk perlengkapan upacara Tawur Agung tersebut. Setelah rangkaian upacara Tawur Agung tersebut selesai, maka para pemuda desa mulai berebut untuk mendapatkan kepala godel (anak sapi) tersebut, terlihat begitu unik dan menarik. Setelah ada aba-aba dari Jero Mangku warga yang terdiri 4 banjar mulai memperebutkan “bayang-bayang” tersebut, mereka berebutan dan bergembira, tidak ada rasa permusuhan.
Menurut penduduk setempat caru yang menggunakan godel, sebagai simbolis dari bhuta kala dan nantinya akan menjadi target rebutan para pengayah yang terdiri dari teruna teruni desa pekraman tersebut. Anak sapi atau godel yang digunakan dalam caru dan Tradisi Megebeg-gebegan bisa berjenis kelamin jantan ataupun betina. Selain itu ada pula aturan dalam memilih godel untuk pecaruan yang mana tidak boleh dalam keadaan buruk, seperti mati karena terserang penyakit ataupun mati karena cacat.
Penggunaan godel (anak sapi) pada pecaruan dan Tradisi Megebeg-gebegan di Buleleng ini sebenarnya memiliki sejarah mendalam yang membuat penduduk Desa mewajibkan tradisi tersebut untuk di gelar tiap tahunnya. Konon dulu, salah satu desa yang ada di Buleleng bernama desa Dharma Jati tertimpa masalah serius yang membuat warga sangat resah. keresahan warga timbul, karena masalah dengan kondisi ekonomi dan kesehatan warga disana mulai tak terjamin, mereka takut kondisi yang dialami desa itu semakin parah.
Ada sejumlah kejadian yang membuat warga resah, seperti kejadian ketika tukad Mungga yang awalnya airnya tenang, tetapi tiba-tiba air sungai tersebut naik ke atas permukaan hingga menyentuh daratan. Hal tersebut membuat warga takut, mereka takut air sungai tersebut naik hingga mengganggu pemukiman yang berada di dekat sungai Mungga. Selain itu juga banyak hama atau merana seperti wereng dan tikus yang menyerang tanaman padi yang dimiliki warga setempat. Dengan demikian membuat petani gagal panen.
Kejadian tersebut membuat warga menjadi bingung, bagaimana cara mengatasi masalah yang menimpa desanya. Merekapun mencoba untuk menanyakannya kepada sesepuh atau tetua yang ada di desa tersebut. Setelah mereka menceritakan masalah yang menimpa Desa Dharma Jati, Sesepuh tersebut pun mencari petunjuk agar masalah air sungai meluap dan tanaman padi yang terserang hama segera dapat dihentikan. Akhirnya para sesepuh mendapatkan pewisik atau petunjuk dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam petunjuk atau pawisik yang didapat bahwa di Desa tersebut harus dilaksanakan pecaruan yang jatuh pada sasih Kesanga dengan mengunakan godel (anak sapi) yang dijadikan simbol bhuta kala. Penduduk desa sangat berharap agar apa yang sesepuh perintahkan kepada mereka dapat membuat keadaan desa kembali seperti semula. Mereka pun mencoba untuk pertama kalinya menggelar pecaruan menggunakan godel (anak sapi) pada saat sehari sebelum nyepi yang jatuh pada hari raya Pengerupukan, di lanjutkan dengan memperebutkan kepala anak sapi tersebut oleh warga desa, lalu setelah itu lambat laun kondisi Desa Dharma Jati semakin membaik.
Maka sampai saat ini, pada saat melaksanakan pecaruan di catus pata, nantinya setelah ritual tersebut selesai akan dilanjutkan dengan menggelar tradisi Megebeg-gebegan, para pemuda desa sangat antusias untuk mengikutinya, seperti tidak sabar ingin segera melangsungkan tradisi ini dengan semangat. Mereka sangat menikmati tradisi Megebeg-gebegan tersebut, tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak ikut. Bagi para pengayah atau peserta yang sedang melangsungkan tradisi ini sangat dilarang jika memiliki perasaan dendam pribadi terhadap sesama pengayah, seperti ada dendam pribadi yang dimanfaatkan saat tradisi tersebut digelar. Dengan Megebeg-gebegan diharapkan bisa lebih mempersatukan masyarakat desa dan mereka bisa saling mengenal.
Tradisi Megebeg-gebegan tersebut tidak hanya diikuti oleh sekee teruna tetapi juga oleh para orang tua. Mereka yang mendapatkan dan berhasil membawa kepala anak sapi (bayang-bayang) tersebut, berhak membawa pulang ke rumah mereka yang nantinya bisa disantap bersama dengan keluarga. Oleh para seniman tradisi Megebeg-gebegan tersebut juga sempat dipentaskan saat Pesta Kesenian Bali di Taman Budaya Art Center Denpasar, pementasan tersebut dikemas dalam drama pendek yang dituangkan dalam sebuah cerita yang sanggup memukau penonton.
sumber : balitoursclub.net
(JN)