Gianyar, (NS7) – Sebutan Bali sebagai Pulau Seribu Pura sudah tak asing lagi bagi wisatawan lokal maupun asing, mengapa demikian, Karena Bali menjadi tujuan wisata dunia, sedangkan mayoritas penduduknya beragama Hindu dan tempat beribadatnya adalah pura, termasuk juga penyebaran agama Hindu sampai saat ini berpusat di Bali. Walaupun pengaruh agama Hindu cukup kuat di Bali, tetapi berbagai budaya dan tradisi warisan leluhur di pulau ini tetap bertahan sampai sekarang ini, seperti salah satunya tradisi Mesbes Bangke atau mencabik mayat, kedengaran sangat ekstrim dan tentunya sangat unik pada jaman sekarang ini.
Tidak dipungkiri Bali memang memiliki banyak budaya an tradisi unik, salah satunya yang populer seperti tradisi pemakaman mayat di Tenganan, Perang Pandan (Mekare-kare), omed-omedan dan Mekotek adalah beberapa tradisi unik yang cukup populer di Bali dan menjadi sebuah atraksi wisata yang menarik untuk dinikmati oleh wisatawan, tetapi tradisi Mesbes Bangke atau mencabik mayat, yang jarang dikenal oleh warga Bali secara umum apalagi wisatawan, masih tetap bertahan sampai sekarang ini, tradisi Mesbes Bangke ini digelar di banjar Buruan, Tampaksiring, kabupaten Gianyar, Bali.
Jika anda pertama kali mendengar atau melihat bagaimana tradisi ini digelar, tentu akan membuat anda tercengang, karena memang jasad tubuh orang yang meninggal (bangke) dicabik-cabik oleh warga dan itu hanya ada di banjar buruan, Tampak Siring, Gianyar. Tentunya ini adalah adalah sebuah budaya dan tradisi unik di Bali yang ekstrim yang dilakukan oleh warga setempat dan tradisi itu masih bertahan sampai saat ini, sangat dimaklumi untuk warga yang belum kenal dan masih awam akan tradisi tersebut, tentu akan kelihatan aneh dan mengerikan.
Tradisi Mesbes Bangke di Tampak Siring Bali ini, tidak dilakukan pada semua jasad manusia yang sudah meninggal. Di desa ini dilakukan upacara Ngaben dengan cara ngaben masal yang melibatkan dan dilakukan oleh banyak warga dan juga ada ngaben personal yang bersifat pribadi. Dan tradisi Mesbes Bangke tersebut hanya digelar untuk ngaben personal saja. Jadi tidak semua orang meninggal melalui proses mencabik mayat tersebut.
Lalu pertanyaanya, kenapa tradisi yang juga merupakan proses ritual orang meninggal tersebut sampai dilangsungkan, walaupun itu sebuah peninggalan leluhur, tetapi itu sebuah tradisi ekstrim yang mungkin tidak semua warga bisa melakukannya. Seperti diketahui untuk melakukan upacara tentu harus mencari hari baik atau duwase (tanggal) yang cocok untuk melakukan ritual dan terkadang mayat (jasad) orang meninggal harus beberapa hari berada di dalam rumah, dan konon, dahulu penduduk asli banjar Buruan ini kebingungan untuk menghilangkan bau busuk yang dikeluarkan oleh mayat, karena zaman dulu tidak ada formalin, mereka harus mencari cara agar mayat tidak berbau bau busuk yang dikeluarkan mayat tersebut.
Karena warga Banjar Buruan tidak kuat menahan bau busuk yang dikeluarkan oleh mayat tersebut, maka warga memiliki ide untuk mesbes (mencabik) mayat tersebut, dan pada saat mencabik-cabik (mesbes) mayat mereka harus merasakan kegembiraan, agar lupa akan bau yang ditimbulkan oleh mayat tersebut. Setelah mayat di cabik-cabik dengan tangan dan giginya sekalipun, entah dagingnya dimakan atau sekedar dicabik, cabikan mayat tersebut di oper-oper seperti sedang melakukan permainan. Menurut warga mereka merasa senang melakukan tradisi tersebut, daging mayat dicabik dan dioper mereka meluapkan kegembiraan sehingga bau tersebut terlupakan.
Saat tradisi Mesbes Bangke ini berlangsung, para pencabik mayat tersebut ada yang setengah sadar atau kesurupan ada pula yang masih sadar, namun mereka tetap bersemangat untuk mencabik mayat hingga naik ke atas mayat, apalagi diiringi oleh gamelan baleganjur dan guyuran air membuat mereka menjadi tambah semangat, setelah warga lelah mencabik mayat ataupun saling oper daging mayat, barulah jenazah atau mayat tersebut di bawa ke tempat upacara Ngaben. Untuk di Bali sendiri dikenal adanya Kasta, untuk tradisi tersebut tidak ada perlakuan khusus untuk kasta yang lebih tinggi, semua kasta ataupun status ekonomi warga, semua diberlakukan sama jika mereka ingin menggelar upacara Ngaben secara personal.
Saat ini sekarang jaman sudah semakain maju dan berkembang, banyak cara dilakukan untuk membuat mayat tersebut tidak berbau termasuk juga penggunaan obat formalin, tetapi tradisi sudah diwariskan, warga atau masyarakat Buruan, Tampak Siring, Gianyar ini masih tetap melakukan tradisi tersebut. Untuk mayat yang akan dikremasi, saat keluar dari rumah duka akan diserbu oleh penduduk yang akan mesbes atau mencabik-cabik mayat tersebut. Konon untuk mencabik mayat tersebut harus dilakukan oleh penduduk yang memang asli dari banjar Buruan, jika dilakukan oleh penduduk pendatang akan berakibat fatal bagi mereka yang melakukannya. Apalagi jika diketahui orang yang bukan penduduk asli banjar Buruan ini ikut mencabik mayat dengan segeranya akan di hajar massa.
Pengecualian terhadap orang yang disucikan seperti pemangku, sulinggih dan pedanda. Untuk mengalihkan perhatian warga terhadap penduduk yang ingin mencabik mereka biasanya keluarga duka akan berusaha menggunakan taktik agar terhindar dari warga, yaitu mengadakan ritual mekingsan (menititpkan) ring gni untuk menghormati jasad mereka. Jika tidak melakukan ritual tersebut ada kemungkinan bagi masyarakat yang setengah sadar untuk mencabik-cabik mayat mereka.
Selain itu ada juga pantangan yang tidak boleh dilakukan selama ritul Mesbes Bangke digelar, yaitu mayat sama sekali tidak boleh menyentuh tanah ataupun jatuh, maka dari itu orang yang mengangkat mayat harus memiliki tenaga kuat, jika hal itu terjadi maka desa adat banjar Buruan mendapatkan sanksi, yang mana harus mengadakan pecaruan. Namun hingga sekarang tidak ada mayat yang demikian. Dari 13 banjar adat yang berada dibawah naungan Desa tampak Siring, hanya banjar Baruan yang masih melakukan ritual ini.
Banyak kontroversi yang datang dari masyarakat luar, mereka memandang bahwa ini tidak menghormati keluarga almarhum dan juga ini merupakan ajang balas dendam terhadap almarhum. Namun sesungguhnya tradisi yang diwariskan turun temurun di Bali ini merupakan wujud kebersamaan dari warga banjar Baruan. Kelian adat dan Dinas Banjar Buruan pun sudah menyetujui jika tradisi ini tetap terlaksanakan. Karena keluarga almarhum sudah merelakan dan ikut turut serta dalam ritual ini. Maka sampai sekarang tradisi tersebut masih bertahan sampai saat ini.
Sumber : balitoursclub.net
(GC)