Tradisi Ngaben Unik Di Desa Terunyan, Kintamani Bangli

Denpasar, (NS7) – Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, dan upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal. Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.

Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah. Di Terunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Trunyan merupakan desa Bali kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga atau Bali asli. Terunyan memiliki banyak keunikan dan yang daya tariknya paling tinggi yaitu keunikan dalam memperlakukan jenasah warganya.

Desa Trunyan yang terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa ini memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa Bali Kuno dan Bali Aga. Desa Terunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa Terunyan, ketiga jenis kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal dunia, keutuhan jenasah dan cara penguburan yaitu :

  1. Kuburan utama, dianggap paling suci dan paling baik yang disebut Setra Wayah. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan).
  2. Kuburan muda, diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
  3. Kuburan Setra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal dunia secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik disebutkan kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau.
Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut, digunakan untuk memagari jenasah.

Di Setra Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang tadi yaitu untuk masyarakat biasa.Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang.

Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang. Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya.

Upacara dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang tuanya. Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan perilaku yang baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada waktu orang tua meninggal serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara kematian.

Sumber : disparbudkabbangli
(ACP/ESS)

   Send article as PDF