TRADISI NGEDEBLAG DI KEMENUH

Gianyar, (NS7) – Bali memiliki beragam budaya dan tradisi unik yang masih bertahan sampai saat ini, walaupun sudah memasuki jaman transisi dan modern, namun warisan budaya masa lampau dari leluhur, masih bisa anda temukan sampai sekarang, tradisi yang digelarpun memang berhubungan dengan ritual keagamaan yang memiliki makan dan maksud tertentu, seperti juga halnya Tradisi Ngedeblag di Bali ini, terkesan begitu unik yang mungkin hanya bisa anda temukan di desa Kemenuh. Jika anda mendengar Tradisi tersebut tentu terdengar cukup asing, namun begitulah adanya anda bisa menyaksikannya langsung jika waktunya tepat, karena sebuah tradisi tidak digelar setiap hari.

Ngedeblag adalah tradisi rutin yang digelar oleh penduduk Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar setiap 6 bulan sekali, pada saat peralihan sasih Kelima (bulan 5) ke sasih Kanem (bulan 6) dalam kalender Bali atau sekitar bulan September – Desember kalender masehi, dan bertepatan dengan rahinan Kajeng Kliwon. Lalu bagaimana asal-usul atau sejarah tradisi Ngedeblag ini sampai digelar sampai saat ini. Menurut penduduk setempat, konon pada masa lalu di Desa Kemenuh, banyak terjadi bencana yang menimpa desa tersebut, seperti : banjir, tanah longsor termasuk wabah penyakit yang menyerang penduduk desa saat itu.

Untuk menghindari bencana tersebut penduduk desa yakin dengan mengadakan ritual Tradisi Ngedeblag bencana tersebut tidak akan mengganggu lagi. Penduduk desa yakin dengan digelarnya Tradisi Ngedeblag yang bertujuan untuk membersihkan bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit (diri manusia) agar desa Kemenuh terhindar dari segala bencana. Karena menurut nenek moyang Desa Kemenuh, mereka mempercayai pada sasih Kelima akan ada virus atau wabah yang menyebar dan adanya cuaca buruk (pancaroba) seperti hujan disertai angin kencang dan panas yang sangat menyengat. Untuk menghindari hal itu penduduk Desa Kemenuh mewajibkan untuk menggelar Tradisi Ngedeblag ini.

Pemuda dan pemudi yang termasuk penduduk Desa Kemenuh diwajibkan untuk ikut berpartisipasi dalam Tradisi Ngedeblag ini. Selain itu juga banyak penduduk Desa yang meluangkan waktu mereka untuk berperan aktif dalam tradisi ini. Terlihat dari raut wajah mereka yang begitu bahagia dapat disimpulkan bahwa mereka melaksanakan tradisi ini dengan penuh keikhlasan dan kegembiraan, walaupun Tradisi Ngedeblag ini mulai digelar tepat matahari berada diatas langit tak membuat para pengayah pantang mundur sebelum memulainya.

Seperti tradisi lainnya, tradisi Ngedeblag ini juga memiliki keunikan tersendiri, seperti pada pakaian atau kostum yang mereka gunakan pada saat menggelar tradisi ini. Para pengayah (peserta) laki-laki harus menggunakan kamben (kain) yang dilapisi dengan saput tanpa menggunakan baju dan bisa dibayangkan panas menyengat dari terik matahari yang tepat berada di atas mereka. Selain itu wajah mereka juga dibuat menjadi seseram mungkin, dengan  cat air warna warni yang nantinya akan diolesi pada wajah mereka dan satu oles pamor yang di olesi dikening, kepala pengayah juga menggunakan penutup kepala dari kukusan.


Sebelum dimulai Tradisi Ngedeblag, masyarakat Desa Kemenuh akan mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya akan diperlukan dalam Tradisi ini. Untuk anak-anak yang berumur 5-10 tahun ditugaskan untuk membawa papah jaka (pelepah enau) sebagai simbol hutan, anak-anak yang berumur 10-17 tahun akan membawa kulkul (kentongan) yang terbuat dari pohon bambu dan orang dewasa juga ditugasi untuk membawa alat atau perabotan yang dapat dibunyikan. Selain itu para laki-laki mengenakan perhiasan yang menyeramkan seperti pengiring Ida Ratu Agung dan para wanita membawa upakara yang akan dihaturkan di Pura Dalem dan setiap catus Pata. Untuk memulai Tradisi Ngedeblag, biasanya penduduk Desa Kemenuh menghaturkan Pakeling yang bertujuan untuk memberitahu kepada Ida Sang Hyang Widhi wasa bahwa Desa tersebut akan mengadakan tradisi Ngedeblag. Prosesi atau ritual pakeling dimulai pada sasih kelima di pura Khayangan 3 dan khayangan alit. Selain harus mempersiapkan upakara, mereka juga mempersiapkan musik tradisional Bali jenis Baleganjur yang akan mengiringinya saat menggelar Tradisi Ngedeblag ini.

Prosesi Tradisi Ngedeblag akan dimulai tepat pukul 12.00 siang dengan diawali melakukan persembahyangan bersama. Setelah itu semua yang berperan dalam Tradisi Ngedeblag seperti : para warga, gong, kulkul dan alat-alat yang nantinya dipakai akan dipercikan tirta agar pelaksanaan Tradisi Ngedeblag dapat berjalan dengan lancar. Saat itu juga para pengayah baik laki maupun perempuan dan anak-anak hingga lansia sangat antusias memulai Tradisi Ngedeblag yang akan dilakukannya.

Setelah yang dibutuhkan selesai, maka mulailah Tradisi Ngedeblag ini digelar. Ida Ratu Agung pun tedun, dalam perjalanannya diawali dengan anak-anak yang membawa batang pohon jaka (enau) dan sisanya mengikuti dari belakang dengan membawa kelengkapan Ngedeblag. Rute perjalanan mereka adalah keliling desa sambil membawa air suci (tirta), hal yang membuat menarik lagi yaitu barong sakral yang diarak beberapa penduduk Desa Kemenuh yang mana disertai dengan bunyi gamelan, kentongan ataupun prabotan yang mereka bawa.

Dalam setiap perjalanannya jika menemukan persimpangan jalan, para ibu-ibu akan menyambutnya dengan membawa sesajen sebagai bentuk menghaturkan puja-puja kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk melakukan pembersihan alam semesta dan untuk menetralisir roh-roh maupun hal-hal negatif yang nantinya dapat mengganggu masyarakat setempat, kegiataan ini biasa disebut dengan istilah “menyomia kala”. Dengan dilaksanakannya Tradisi Ngedeblag, dan setelah tradisi tersebut digelar masyarakat Desa Kemenuh mengaku merasakan kenyamanan lahir batin.

Sumber : balitoursclub.net
(GC)

   Send article as PDF