TRADISI PERANG SUREN, BANGLI

(Nusantara7.id) – Pulau Bali sudah terkenal dikalangan masyarakat lokal maupun asing tidak hanya karena keindahan objek wisata saja, tetapi Bali memiliki juga beragam budaya dan tradisi unik yang merupakan warisan budaya leluhur masih juga bertahan sampai saat ini, walaupun jaman sudah mulai berubah.

Sebagai daerah tujuan wisata, dan saat wisatawan melakukan perjalanan tour di Bali agen perjalanan wisata sengaja mengemas paket tour yang ditawarkan berikut menikmati atraksi budaya dan mengenal lebih dekat tradisi di pulau Dewata tersebut. Dari sekian banyak tradisi yang ada salah satunya adalah tradisi Perang Suren.

Mendengar tradisi Perang Suren tersebut mengingatkan kita pada tradisi perang Pandan (mekare-kare) di desa Tenganan, Kabupaten Karangasem.

Namun Perang Suren ini tentunya berbeda, seperti namanya, tradisi perang ini menggunakan media dari kayu Suren dan tradisi tersebut digelar di desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Di Bali Sebuah tradisi biasanya berhubungan erat dengan ritual keagamaan, termasuk juga tradisi Perang Suren ini, sebelum tradisi tersebut berlangsung, terlebih dahulu menggelar sebuah ritual ataupun pemujaan, ini menandakan tradisi dengan ritual keagaamaan di Bali sangat berhubungan erat.

Tradisi Perang Suren di Bayung Gede

Tidak hanya di Bali secara umum, ternyata wilayah Kecamatan Kintamani Bangli memiliki sejumlah budaya dan tradisi unik, tidak hanya Perang Suren.

Seperti diketahui di desa Trunyan juga ada tradisi unik pemakaman mayat, ada juga tradisi Nusaba Tegen Kedisan, Menikah Masal di Pengotan, Perang pelepah pisang di Pengotan, Megoak-goakan Kintamani serta berbagai tradisi unik lainnya di desa Bayung Gede Kintamani.

Sejumlah tradisi unik tersebut mungkin tidak semua orang tahu informasinya, karena memang jarang diekspose media, kecuali pemakaman desa Trunyan yang memang menjadi tujuan wisata populer di Bali, karena keunikannya.

Tradisi Perang Suren di desa Bayung Gede Kintamani diikuti oleh muda-mudi (pemuda yang sudah beranjak dewasa), dalam proses selanjutnya harus melalui tahap karantina sebelum melaksanakan upacara Perang Suren.

Sebelum digelar diawali dengan upacara Ngusabha Lampuan yang merupakan proses ritual dalam tahap karantina, dan digelar di Pura Dalem Lampuan yang terletak di Desa Bayung Gede.

Tujuan dari proses karantina atau Ngusabha Lampuan ini untuk memperkenalkan sejarah dari tradisi dan budaya Perang Suren yang diwarisi oleh para leluhur. Selain itu juga bertujuan untuk memberikan pelatihan kepada muda mudi.

Pelatihan yang didapatkan oleh pemuda dan pemudi saat mengikuti karantina yaitu berupa mejejaitan atau membuat sarana bebantenan, ini bertujuan agar para muda mudi setelah keluar dari proses tahapan karantina bisa mengaplikasikan apa yang mereka dapat di karantina kepada masyarakat.

Maka dari itu, banyak muda mudi yang tidak mau melewatkan kesempatan ini. Selain itu juga manfaat dari tahapan karantina ini untuk membuat muda mudi lebih menghargai peninggalan nenek moyang mereka dan sebagai wadah dalam wujud kebersamaan. Sehingga kearifan lokal desa Bayung Gede di Kintamani Bangli ini terjaga dengan baik.

Agar tidak merasa bosan dalam tahapan karantina, selain belajar membuat bantenten (sesajian) atau mejejaitan (menjarit perlengkapan upacara dari janur/lontar), para muda mudi yang dikarantina juga diselingi dengan mengikuti pelatihan mekidung (nyanyian Tuhan).

Mekidung merupakan salah satu kompenen penting dalam menggelar upacara keagamaan. manfaat dari mekidung berupa sebagai alat komunikasi spritual kepada Ida Sang Hyang Widhi wasa dan dapat mengendalikan diri dari pengaruh adharma (tidak baik).

Maka dari itu, wajib bagi mereka untuk melaksanakan dharma Githa atau mekidung dalam menggelar upacara keagmaan.

Mereka yang ikut karantina saat Ngusaba Lampuan tersebut akan merasa sangat beruntung, mereka bisa belajar berbagai hal, seperti pelatihan mejejaitan dan mekidung yang sering digunakan untuk keperluan sehari hari dan upacara keagamaan.

Mereka juga harus menggunakan pakaian atau baju tradisi Desa Bayung Gede. Baju yang dikenakan berupa balutan songket dan kain tenun.

Selama proses tahapan karantina atau Ngusabha lampuan ini para pemuda dan pemudi tidak boleh mengganti pakaian mereka dan mereka harus tetap menggunakan songket dan kain tenun ini selama pergelaran Perang Suren ini. Hingga saat ini songket dan Kain tenun sudah menjadi ciri khas Indonesia.

Setelah mengikuti pelatihan atau karantina di Pura Desa Lampuan, para muda-mudi langsung dapat melaksanakan perang suren yang dipandu oleh orang yang sudah ditunjuk oleh masyarakat Desa Bayung Gede untuk memandunya, seperti pemangku.

Desa Bayung Gede adalah salah satu desa Bali Aga di Bali, sama seperti Tenganan, kedua desa tersebut memiliki tradisi perang yang sama.

Tradisi-tradisi tersebut digelar, selain bertujuan untuk menjaga budaya leluhur ada kemungkinan tujuan dari Perang Suren dan Perang Pandan (mekare-kare), yaitu untuk menghormati Dewa indra yang dipercaya sebagai Dewa Perang. (AGP/ADI)

Baru! Tayangan Video dari Bali Digital Channel

klik: https://s.id/BaliDigitalChannel

#BaliDigitalChannel #Nusantara7

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF