TRADISI SIAT SAMPIAN DI BEDULU

Gianyar, (NS7) – Bali dengan alamnya yang cantik berbalut kearifan budaya lokal serta berbagai tradisi unik yang merupakan warisan masa lampau dari nenek moyang atau leluhur yang masih bertahan sampai sekarang ini. Budaya dan tradisi unik di Bali ini memang sangat beragam hampir di setiap Kabupaten di Bali memilikinya, seperti salah satunya yang dikenal dengan Siat Sampian , berasal dari kata siat yang berarti perang dan sampian adalah rangkaian janur yang dipakai sebagai sarana upacara keagamaan. Dan sekarang sarana Sampian tersebut digunakan untuk senjata yang dipakai untuk menyerang lawan.

Sangat menarik memang, tradisi-tradisi unik warisan masa lampau yang tergolong sudah sangat tua tersebut masih bertahan dan rutin digelar sampai saat ini, di Bali sendiri selain siat sampean di Bedulu ada sejumlah tradisi perang yang juga digelar di sejumlah tempat dengan sarana berbeda, seperti perang pandan di desa Tenganan, perang api atau terteran di Jasri, Gebug ende atau perang rotan di Seraya, perang ketupat di desa kapal, perang suren di desa Bayung Gede dan perang pelepah pisang di desa Pengotan.

Siat Sampean sendiri adalah tradisi unik yang rutin digelar di Pura Samuan Tiga, desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Tradisi inipun digelar setiap setahun sekali yaitu bertepatan dengan Purnama Jiyestha, bulan 11 kalender Bali atau sekitar bulan Mei pada kalender masehi bertepatan dengan bulan penuh (purnama). Pura Samuan Tiga ini sendiri adalah pura peninggalan masa lampau yang merupakan tempat atau tonggak sejarah bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali masa silam.

Pura Samuan Tiga dibangun pada zaman Kerajaan Udayana pada abad X Masehi silam, sekte yang memiliki keyakinan dan pemahaman berbeda tersebut rentan terjadi gesekan dan akhirnya saat rapat (pesamuan) disepakati dewa Tri Murthi sebagai pemujaannya dan dibangunlah Pura Kahyangan Tiga pada setiap desa Pakraman. Tradisi siat sampian tersebut memiliki hubungan erat dengan sejarah penyatuan sekte yang ada di Bali tersebut.

Tradisi perang atau siat sampian tersebut digelar saat rangkaian upacara pujawali atau piodalan di Pura Samuan Tiga di Bedulu dan berlokasi di areal Jaba Tengah pura. Perang atau siat dalam tradisi tersebut menggunakan rangkaian janur atau sampian yang biasanya sebagai perlengkapan banten (sesajen) dan sekarang digunakan untuk senjata. Dalam prosesi tersebut dilakukan oleh pengayah (peserta) perempuan ataupun laki-laki. Peserta tersebut dipilih melalui prosesi atau ritual yang bernama mapekeling atau pawintenan, dari sanalah diketahui siapa saja yang terpilih dan dipercaya oleh Ida Sesuhunan (Batara yang berstana) di Pura Samuan Tiga sebagai pengayah.

Jadi, tidak sembarangan orang bisa terlibat dalam tradisi Siat Sampian walaupun orang itu masih termasuk penduduk dari Desa Bedulu, Gianyar. Jumlah pengayah atau peserta Siat Sampian ini juga berbeda-beda, yang mana jumlah pengayah laki-laki lebih banyak bisa mencapai ratusan, sedangkan pengayah perempuan ditunjuk kurang lebih 35 orang dari Desa Adat Bedulu, yang mana peserta yang sudah ditunjuk harus dengan iklas dan senang hati menjalankan perintah dari Ida Bhatara.

Walaupun tidak ada sanksi yang mengikat dalam Tradisi Perang Siat ini, sepanjang diadakannya tradisi ini, para peserta yang sudah di tunjuk tidak pernah menolak bahkan tidak ada yang merasa berat hati dalam menjalankan tradisi ini. Karena, terlihat dari wajah pengayah yang penuh dengan kegembiraan. Dalam ritual tradisi Siat Sampian, peserta atau pengayah dibagi dalam dua kelompok yang berbeda-beda, kelompok pengayah perempuan disebut sebagai “Jro Permas” dan kelompok pengayah laki-laki bernama “Jro Parekan

Tradisi Siat Sampian ini terdiri dari 2 tahap, tahap pertama dimulai oleh Jro Permas dan tahap kedua dari Jro Parekan. Untuk Jro Permas atau pengayah perempuan memiliki waktu dari matahari terbit hingga matahari tepat diatas langit, atau sekitar setengah hari. Jro Permas mengawali tradisi siat sampian ini dengan kegiatan Nampiog, yaitu menari keliling pura sebanyak 11 kali dengan aturan sejarah jarum jam. Lau dilanjutkan kegiatan di Jaba Pura, dikenal dengan kegiatan Ngombak, yang mana kegiatan ini menirukan gerakan ombak. Dalam kegiatan Ngombak para pengayah berbaris dengan berpegangan tangan lalu mengikuti gerakan maju mundur di depan pelinggih berulang-ulang kali, jika ada komando berhenti baru bisa selesai.

Tradisi ini diiringi tabuh gong dan angklung membuat para pengayah bertambah semangat dan antusias dalam berperan. Setelah Nampiog dan Ngombak, Jro Permas disusul dengan Ngindang dapat mengambil sampian satu orang satu bahkan boleh mengambil dua. Saat semua pengayah perempuan memegang sampian barulah dimulai perangnya, setiap peserta memandang teman mainnya juga sebagai musuh untuk dikalahkan. Untuk menentukan pemenang dalam pertunjukan ini, dapat dilihat dari pemain yang dapat memukul teman atau lawan mainnya sebanyak 3 kali dengan senjata sampian. Setelah menentukan pemenangnya, pertunjukan untuk tahap Jro Permas pun diakhiri dan para pengayah menaruh sampiannya kembali ke tempat semula.

Pertandingan Jro Permas selesai dan dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu ppertandingan Jro Parekan yang mana peserta laki-laki bisa berjumlah sampai ratusan. Dengan diawali kegiatan Ngombak sama halnya dengan Jro permas setelah itu dilanjutkan dengan lari keliling pura sebanyak 3 kali searah dengan jarum jam. lalu para Jro Parekan melanjutkan dengan melakukan muspa (persembahyangan), pada saat muspa para jro parekan sudah mengalami kerasukan semangat pertempuran. Setelah muspa pun peperangan sudah tidak bisa ditahan, dimulailah perang kedua ini, jumlahnya ratusan seperti perang kurusetra,  mereka saling kejar, saling pukul dan menghindar, ditambah lagi iringan tabuh membuat mereka semakin mengebu-gebu dan menikmati perang tersebut.

Aturan yang berlaku pada Jro Parekan sama halnya aturan yang berlaku pada Jro Permas. Dalam pertandingan ini, mereka tidak mengenal mana lawan dan mana kawan intinya mereka sama-sama berperang untuk menang. Siapa yang bisa memukul lawan mainnya sampai 3 kali, maka bisa dikatakan sebagai pemenangnya. Begitu unik dan menarinya tradisi perang sampian ini, sehingga bisa menjadi atraksi menarik yang bisa anda saksikan ketika liburan di Bali, dan itupun hanya bisa anda saksikan setahun sekali.

Makna yang terdapat dalam Tradisi Siat Sampian ini, selain sebagai penghormatan bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali, juga sampian tersebut sebagai simbol senjata cakra Dewa Wisnu, yang diartikan juga sebagai simbol perlawanan dharma (kebajikan) atas adharma (kejahatan), untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan yang terahkir dengan digelarnya Tradisi Siat Sampian ini diharapkan penduduk Desa Bedulu Gianyar agar selalu dilimpahkan ketenteraman dan kerukunan sesama penduduk Desa Bedulu.

Sumber : balitoursclub.net
(GC)

Print Friendly, PDF & Email
   Send article as PDF