(Nusantara7.id) – Idul Fitri 1444 Hijriah atau Lebaran 2023 memang sudah berlalu, namun suasananya masih terasa sampai sepekan setelahnya. Di Bali, suasana ini terasa dalam tradisi perayaan yang ada di beberapa komunitas muslim.Semisal tradisi Mesyawalan dan Ketog Semprong di Bedugul. Tepatnya di Banjar Candikuning II, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, yang berlangsung di balai banjar setempat pada Sabtu (29/4/2023).
Dalam tradisi ini, umat Islam di Banjar Candikuning II berkumpul pada satu tempat beramai-ramai. Mereka datang bersama seluruh keluarganya. Baik yang tinggal di banjar atau kerabat yang tinggal pada daerah lainnya di Bali atau luar Bali.
Tidak sekadar datang untuk berkumpul, mereka juga melantunkan doa-doa dan makan bersama. Sehingga tiap keluarga yang datang masing-masing membawa sagian atau wadah yang berisi beraneka masakan.
Ketupat menjadi salah satu menu yang identik dengan Mesyawalan dan Ketog Semprong ini. Sehingga di komunitas muslim lainnya, Mesyawalan dan Ketog Semprong ini dikenal pula dengan sebutan Lebaran Ketupat.
“Sebetulnya antara Mesyawalan dan Ketog Semprong itu menjadi satu kesatuan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan tujuh hari setelah Idul Fitri,” ujar Tetua Adat Banjar Candikuning II, Khoironi Saputro.
Ia menjelaskan, Mesyawalan berasal dari kata Syawal, nama bulan di penanggalan Hijriah. Mesyawalan berakar dari tradisi silaturahmi yang rutin dilakukan pada saat Idul Fitri.
“Jadi kesempatan kepada saudara-saudara yang tinggal jauh untuk berkumpul dan bersilaturahmi karena mungkin di saat Idul Fitri tidak sempat pulang dan berjumpa,” kata Khoironi.
Karena warga dengan keluarga besarnya yang datang saat Mesyawalan begitu ramai maka dalam istilah Bali disebut dengan Ketog Semprong. Bila diurai, ketog berarti melepas sesuatu dengan cara mengetukkan ke lantai.
“Sedangkan semprong itu alat tiup untuk menyalakan api pada tungku di masa-masa lalu saat memasak. Biasanya ujung semprong itu terbakar dan ada abunya. Abu itu di-ketog ke tanah sehingga lepas dan berkumpul di satu tempat,” jelas Khoironi.
Ia menyebut Mesyawalan dan Ketog Semprong identik pula dengan Ketupat. Karena pada momen setelah berdoa ada momen untuk makan bersama.
Kegiatan itu dilakukan dengan duduk bersama di atas tikar atau alas sembari menyaksikan kesenian macam Rodat, Hadrah, Kasidah, atau aktivitas berakar budaya Islam.
Terkadang antara satu keluarga dengan keluarga lain saling menawarkan menu yang mereka masak. Seluruh masakan untuk Mesyawalan itu dibawa dengan sagian.
“Istilahnya sagian. Isinya aneka masakan. Biasanya ketupat, ayam goreng, nasi kuning. Macam-macam masakanlah,” ujarnya.
Menurutnya, menu yang identik dengan Mesyawalan dan Ketog Semprong adalah ketupat. Sehingga Mesyawalan bisa pula disebut dengan Lebaran Ketupat sebagaimana penyebutan tradisi serupa pada komunitas muslim di daerah lain.
“Identiknya ketupat. Meskipun tidak harus ya. Bisa diganti nasi. Tapi kalau dulu biasanya ketupat. Sekarang ini karena mungkin tidak sempat buat ketupat, jadi pakai nasi saja. Karena buat ketupat juga prosesnya lumayan (lama),” tuturnya.
Menurut Khoironi, tradisi ini telah ada sejak lama. Ia sendiri tidak bisa memastikan sejak kapan tradisi ini mulai berkembang karena tidak ada sumber tertulis yang bisa menjelaskannya.
Namun, tradisi ini diperkirakan berkembang seiring keberadaan komunitas muslim di Bali pada masa lampau. Dulunya, tradisi ini digelar di masjid atau musala. Sejak sepuluh tahun terakhir, tradisi ini kemudian digelar ke dalam satu momen dan tempat.
Karena diperkirakan berkaitan dengan perkembangan komunitas muslim di Bali, warga yang hadir dalam Mesyawalan dan Ketog Semprong ini tidak hanya berasal dari Banjar Candikuning II saja. Ada juga yang punya kerabat di daerah lainnya di Bali.
“Seperti di Karangasem, Buleleng, atau daerah lainnya di Bali. Bahkan belakangan ini yang tidak punya hubungan keluarga di Candikuning ada juga yang ikut karena ingin merasakan suasananya,” sebutnya. (AGP/AR)
Sumber: detik.com